214 dilihat

Di padang rumput yang luas, bermekaran bunga-bunga terang seolah mencerminkan langit biru yang cerah. Di tengah bentangan alam itu, seorang pria berzirah perak menemani sang putri yang tengah memetik bunga. Sudah menjadi kebiasaan bagi mereka duduk bersama di tempat itu, berbincang dalam keheningan yang menyenangkan.

“Apakah semua bangsawan harus mempelajari banyak etika?” tanya sang putri sambil merunduk memetik bunga.

“Sudah sewajarnya bangsawan beretika. Anda tak bisa bertindak semaunya, kecuali jika ingin dikawal ke mana pun Anda pergi,” jawab sang kesatria dengan nada lembut.

Awan melintas, menghalau terik matahari, dan angin sepoi membelai wajah mereka. Senyum di wajah keduanya menyatu dengan ketenangan alam yang mengelilingi. 

“Sudah lama ya…” gumam sang putri. “Kalau aku boleh jujur, aku mulai bertanya-tanya… apakah kamu akan tetap menemaniku ke depannya?”

“Sudah semestinya saya mengikuti Anda, Tuan Putri. Kapan pun, di mana pun.”

Senyum tipis menyambut jawaban itu. Mereka berjalan menuju pasar kerajaan, di bawah langit oranye yang mengisyaratkan hari mulai senja. Suasana hangat menyelimuti. 

“Aku suka saat seperti ini!” seru sang putri riang. Tapi sang kesatria hanya mampu tersenyum paksa, menyadari kemungkinan hari itu adalah yang terakhir mereka bertemu.

Fajar merekah. Planet berputar, hewan mulai mencari makan, dan para kesatria bersiap. Perang dimulai saat matahari sejajar dengan atap kastil.

Sang putri, dengan rambut masih acak-acakan, mendatangi kesatria yang siap bertempur.

“Berjanjilah untuk kembali! Aku tak mau dengar alasan apapun!” katanya, tegas namun cemas.

Sang kesatria berdiri tegap. “Tentu. Karena itu kewajiban yang harus saya tanggung.”

Senyum tipis muncul lagi di wajah sang putri. “Anggap itu janji yang sudah kau setujui,” katanya sambil menyentuh dadanya, seolah menenangkan dirinya sendiri.

Perang meletus. Kesatria berzirah perak berada di garda terdepan. Musuh datang dengan senjata besar: trebuchet, bombard, alat penghancur tembok.

Garda depan mempertahankan posisi dengan gagah. Tapi fokus mereka pada gerbang utama membuat mereka tak menyadari musuh menyusup lewat tembok yang runtuh.

Sementara itu, sang putri—telah dievakuasi bersama warga—hanya bisa menatap asap yang membumbung dari kastil. Ia memejamkan mata, mengepalkan tangan, dan berdoa. 

Di medan perang, sang kesatria meneriakkan seruan:

“JANGAN GOYAH! Apa yang kita lakukan menentukan masa depan! Untuk kehormatan, kerajaan, dan cahaya masa depan kita! HIDUP KERAJAAN!”

Sorakannya membakar semangat. Garda depan bangkit. Satu per satu penyusup diatasi. Arus perang berbalik.

Matahari tenggelam. Bulan naik. Kemenangan diraih, meski banyak korban jatuh. Salah satunya sang kesatria. 

“Tuhan masih mengizinkanku hidup sekali lagi…” katanya lirih, duduk bersandar pada reruntuhan. Tangannya terluka parah.

“Dengan tangan seperti ini… bisakah aku tetap menjalankan tugasku?” tanyanya, lebih kepada langit malam. 

Di tempat evakuasi, sang putri cemas. Tak lama, seekor merpati membawa kabar kemenangan. Begitu membaca surat itu, ia langsung berlari menembus kerumunan, kembali ke kastil. 

“Dia berjanji padaku! Aku harus melihatnya!” serunya pada para pengawal yang mencoba menahan. 

Melewati puing-puing dan tubuh lelah para pejuang, ia mencari. Sampai akhirnya ia menemukannya: sang kesatria, duduk bersandar, tangan kirinya berlumuran darah. 

“Kau terlihat mengerikan,” katanya, tersenyum sambil menahan air mata. Ia berlutut.

“Tuan Putri… saya kembali, seperti janji saya…” ucap kesatria, mengepalkan tangan kanannya ke dada.

Air mata sang putri tumpah. “Bodoh. Kau sudah cukup berjuang. Istirahatlah sekarang, baru nanti kau bicara seperti itu,” katanya sambil menggenggam tangannya. 

“Selama jantung saya masih berdetak, saya akan selalu berada di sisi Anda. Tangan hanyalah alat. Tapi jiwa saya… milik Anda.”

Ia menutup mata pelan dengan senyum tulus terakhirnya. Sang putri menangis, tapi tersenyum kecil.

“Kamu sudah menepati janjimu… Hanya saja, aku masih berharap kamu masih ada…”

Penulis: Ferhan Galang Baskoro
Editor: Nicola Ananda

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Next Story

Sirna

0 $0.00