147 dilihat

Di tengah ademnya dunia, di suatu tempat yang penuh hal mistis, hiduplah tiga gadis manis yang masih kecil: Alice, Aloce, dan Aluce. Mereka adalah tiga bersaudara, anak dari seorang pedagang kecil bernama Mas Jo dan istrinya, Mbok Riska. 

Mas Jo dan Mbok Riska dikenal sebagai sepasang suami istri yang sangat ketat terhadap anak-anak mereka. Mereka selalu mengutamakan pekerjaan, sibuk mencari uang hingga larut malam, dan sering menyepelekan keberadaan anak-anaknya. Namun, perlakuan mereka tak sepenuhnya adil. Alice, anak sulung, mendapatkan perhatian yang berbeda.

Alice adalah anak yang paling disayang karena ia lahir dari sebuah telur yang diminta Mas Jo dan Mbok Riska kepada seorang kyai terkenal pada zaman itu. Kyai tersebut dikenal memiliki ilmu tinggi. Sebelumnya, dokter telah memvonis bahwa pasangan itu mustahil memiliki anak. Tapi takdir berkata lain. Alice tumbuh sebagai anak yang “berbeda” dari dua saudaranya.

Keesokan malamnya, Alice tiba-tiba tumbuh besar. Suasana rumah Mas Jo pun berubah. Bukan hanya karena kehadiran “penunggu tak kasat mata”, sebut saja Mbak Sari dan teman-temannya, tapi juga karena perang kecil yang setiap hari terjadi antara ketiga bersaudara itu. Tapi ini bukan perang biasa. Ini adalah perang yang melibatkan dua dunia: dunia nyata dan dunia gaib.

Setiap pagi, Aloce dan Aluce selalu bertengkar, mulai dari berebut kamar mandi hingga urusan sepele lainnya. Sementara itu, Alice, dengan sikapnya yang terkesan cuek, duduk santai di ruang tamu sambil makan gorengan hasil mencuri dari rumah tetangga dan mengobrol santai dengan “pasukan gaib”-nya. 

Suatu hari, Aloce marah karena handuknya hilang. Ia langsung menuduh Aluce. 

Aluce membela diri. “Bukan aku! Tadi aku lihat handukmu terbang sendiri ke belakang, tanpa ada gesekan, angin, atau apapun!”

Alice tertawa pelan. “Itu memang ada yang menggerakan. Namanya Mbak Sari. Katanya kalau kalian sering bertengkar, dia mau ajarin cara berperang yang beneran, lho…”

Aluce dan Aloce langsung terdiam, menganggap ucapan Alice tidak berbobot dan tak masuk akal. 

Alice melanjutkan, “Nanti malam, siap-siap aja. Akan ada perang besar di rumah ini.”

Malam harinya, setelah Mas Jo dan Mbok Riska tertidur, Alice membangunkan kedua adiknya. 

“Ayo, kita ke dapur. Pasukan Mbak Sari sudah menunggu.”

Dengan takut-takut, Alice menggandeng tangan Aloce dan Aluce, menarik mereka perlahan menuju dapur yang remang-remang, hanya diterangi cahaya dari lilin. Di dapur, di balik bayangan gelap, sosok-sosok mulai muncul, pasukan gaib Mbak Sari yang selama ini hanya bisa dilihat oleh Alice. 

“Siap?” tanya Alice dengan suara penuh semangat dan mata berbinar seperti cahaya bintang.

Aloce dan Aluce saling berpandangan. Mereka masih ragu, tetapi juga penasaran. Mereka tahu, malam ini berbeda. Tidak ada lagi rebutan handuk atau kamar mandi. Yang ada hanya pertempuran yang melibatkan kekuatan magis.

Mbak Sari, sosok gaib yang selama ini hanya menjadi cerita, tiba-tiba berdiri di hadapan mereka.

“Kalian bertiga adalah pewaris kekuatan yang harus dijaga. Dunia nyata dan dunia gaib sedang dalam bahaya,” ujarnya dengan suara lembut tapi tegas. “Perang ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tapi tentang menjaga keseimbangan.”

Tiba-tiba, dapur berubah menjadi medan pertempuran magis. Cahaya berwarna-warni berputar dan suara gemuruh terdengar dari berbagai sudut. Alice dan Aluce mulai merasakan kekuatan tersembunyi dalam diri mereka bangkit. 

Alice mengangkat tangannya dan dari ujung jarinya muncul cahaya biru yang membentuk perisai pelindung. Aloce mencoba menggerakkan tangannya dan angin kecil mulai berputar di depannya. Aluce, yang tadinya paling skeptis, mulai merasakan energi mengalir di tubuhnya. 

Pertempuran ini bukan melawan musuh yang terlihat, melainkan melawan kekacauan yang ingin merusak kedamaian antar dua dunia. Mereka harus bersatu, mengesampingkan ego dan perselisihan yang selama ini menjadi batu sandungan di antara mereka. 

Seiring waktu, ketiga saudara itu belajar untuk saling melengkapi. Alice dengan kekuatan magisnya, Aloce dengan ketegasan dan keberaniannya, dan Aluce dengan kecerdikannya. Mereka bukan hanya bertarung bersama, tapi juga bertumbuh bersama, sebagai saudara, sebagai pelindung, dan sebagai bagian dari keluarga yang selama ini retak. 

Ketika fajar mulai menyingsing dan matahari menghangatkan bumi, pertempuran pun mereda. Pasukan Mbak Sari perlahan menghilang. 

“Ini baru permulaan,” kata Alice sambil tersenyum. “Kita harus siap, karena dunia ini penuh dengan hal-hal yang tak terlihat.”

Dengan senyum penuh harapan, Alice menambahkan, “Kita bukan hanya saudara, tapi juga pelindung dunia ini.”

Aloce dan Aluce mengangguk. Kini, ikatan mereka lebih kuat dari sebelumnya. Perang kecil di rumah itu telah berubah menjadi ikatan besar yang tak terpisahkan. 

Sejak hari itu, rumah Mas Jo bukan lagi tempat pertengkaran, melainkan saksi bisu sekaligus markas kecil tiga pejuang muda yang berani melangkah ke dua dunia, menjaga kedamaian dengan kekuatan cinta dan persaudaraan. 

Penulis: Allysha Novelia
Editor: Nicola Ananda
Ilustrasi: Yemuel Aldo Benaya

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Sirna

0 $0.00