
SCIENTIARUM — Desakan untuk mengakhiri konflik kepemimpinan di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (FH UKSW) menguat. Dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa, 3 Juni 2025 pukul 12.30 WIB di Gedung Fakultas Hukum, Presidium Alumni Fakultas Hukum (FH) UKSW Peduli Almamater menyerukan agar pimpinan universitas mencabut Surat Keputusan (SK) pemberhentian Prof. Dr. Umbu Rauta, S.H., M.Hum dari jabatan Dekan FH UKSW, serta SK pengangkatan Prof. Dr. Christina Maya Indah Susilowati, S.H., M.Hum sebagai penggantinya.
Presidium Alumni Peduli Almamater Fakultas Hukum UKSW ini dibentuk oleh alumni FH dari lintas angkatan dan berbagai latar belakang profesi praktisi hukum di luar kampus. Dalam siaran persnya, mereka menyatakan keprihatinan atas kondisi almamater yang kini dinilai “sedemikian meluas dan masif terdengar di seluruh penjuru Indonesia.”
“Kami terpanggil untuk membantu memberikan solusi penyelesaian atas kondisi almamater [FH UKSW—red] yang sedang menghadapi permasalahan. Ini karena rasa memiliki untuk mengembalikan marwah FH UKSW yang kami cintai,” ujar Presidium dalam pernyataannya.
Dalam surat bertanggal 23 Mei 2025, Perihal Penyampaian Pendapat, yang ditujukan kepada Pembina dan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW), Rektor, dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan lembaga kemahasiswaan FH UKSW, Presidium secara tegas menyerukan agar:
- SK pemberhentian Prof. Umbu Rauta serta pejabat struktural lainnya di FH UKSW dicabut,
- SK pengangkatan Prof. Christina Maya sebagai dekan beserta pejabat lainnya dibatalkan, dan
- Civitas akademika FH UKSW mengedepankan semangat kebersamaan serta suasana kerja yang kondusif.
Presidium menilai, dialog dan rekonsiliasi hanya mungkin terjadi jika akar persoalan sejak awal konflik dibuka dan diselesaikan. Jika tidak, mereka mengingatkan bahwa penyelesaian hukum, termasuk melalui jalur Hukum Administrasi Negara, Perdata, bahkan Pidana, sangat mungkin ditempuh.
“Kami tidak ingin memperkeruh suasana. Tapi sebagai bagian dari UKSW yang telah dididik dan dibentuk di FH UKSW, kami juga punya tanggung jawab moral,” tulis mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Koordinator Presidium, Hermanto, yang juga tercantum sebagai kontak resmi korespondensi.
Prof. Umbu: Sudah Ajukan Keberatan, Siap Gugat ke PTUN

Setelah konferensi pers, Prof. Dr. Umbu Rauta menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan upaya hukum administrasi berupa keberatan kepada Rektor UKSW atas keputusan pemberhentiannya, tertanggal 26 Mei 2025. Langkah ini merupakan bagian dari prosedur yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Kami sedang mengajukan keberatan kepada pihak yang mengeluarkan SK, yakni Rektor. Kami juga sudah menunjuk sepuluh kuasa hukum untuk mendampingi bila perkara ini masuk ke pengadilan,” ujar Umbu kepada wartawan.
Ia menjelaskan, keberatan administratif merupakan langkah pertama. Jika tidak ditanggapi dalam waktu sepuluh hari kerja, atau jika tanggapan dari Rektor tetap mempertahankan SK pemberhentian, pihaknya akan mengajukan banding ke Pembina melalui Pengurus YPTKSW. Bila banding tersebut juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan, pihaknya siap melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Ini adalah hak hukum kami bertiga—saya, Bu Ninon (Ninon Melatyugra), dan Pak Fred (Freidelino PRA de Sousa),” tegas Umbu.
Potensi Krisis Akademik dan Kehilangan Kepercayaan Publik
Presidium mengingatkan bahwa jika konflik ini tidak segera diselesaikan secara terbuka dan berjiwa besar dapat berkembang menjadi krisis kelembagaan yang mendalam. Mereka menyebut bahwa situasi saat ini mengingatkan pada konflik besar yang pernah menimpa UKSW pada tahun 1995, yang dampaknya memerlukan waktu pemulihan sangat lama.
“Kampus ini sedang dalam masa penerimaan mahasiswa baru. Kita semua harus malu jika konflik dibiarkan menggerogoti reputasi akademik dan nilai-nilai Kristen yang tercermin dalam nama lembaga ini,” tulis Presidium dalam suratnya.
“Kita semua (seluruh Civitas Akademika dan para stake holder lainnya) semestinya malu atas kejadian ini, yang apabila tidak segera diselesaikan berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan akademis kampus, konflik antar pribadi dan kelompok, retaknya fondasi ideogis Satya Wacana, dan efek Collateral Damage lainnya yang tentu tidak dikehendaki terjadi. Seharusnya para pimpinan di Lembaga UKSW masih ingat peristiwa konflik Satya Wacana sekitar Tahun 1995 yang membutuhkan waktu pemulihan sangat lama dan ‘kerugian’ sangat mahal atas efek yang ditimbulkan. Apalagi dalam waktu dekat ini memasuki masa admisi mahasiswa 2 baru, sangat diperlukan citra kampus yang positif dan kondusif untuk dipilih warga masyarakat bersekolah atau menyekolahkan anaknya di Universitas pilihannya.”
Mereka juga meminta agar Yayasan dan Rektorat bersedia membuka ruang audiensi dan dialog terbuka. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi atau respons dari pihak Rektorat UKSW maupun YPTKSW.
Konflik di Fakultas Hukum UKSW bukan hanya soal jabatan, melainkan berpotensi melemahkan kepercayaan dan manajemen kampus. Presidium Alumni mengingatkan, jika penyelesaian hanya mengandalkan tafsir dan otoritas masing-masing, konflik bisa berlarut dan memecah belah civitas akademika.
Mereka menyerukan agar semua pihak membuka ruang dialog yang terbuka dan berjiwa besar demi kemajuan dan keharmonisan almamater.
Reporter: Setyo Budi dan Nicola Ananda
Penulis: Nicola Ananda
Editor: Kezia Gerungan
Foto: Ardendi Herdiananta