Cermin Iri Hati
Toko itu sunyi, diliputi kayu tua yang seolah telah menyerap waktu. Hujan gerimis mengetuk kaca jendela, mengguratkan bayang-bayang barang antik yang berbaris rapi dalam remang cahaya. Di tengah ruangan, sebuah meja kaca berdiri ringkih, menampung benda-benda aneh yang seolah menyimpan cerita mereka sendiri.
Di sanalah Adra menemukannya.
Sebuah cermin genggam dengan gagang perak yang memudar. Di tengah punggung cerminnya, tertanam sebuah kristal mungil berwarna ungu. Ada sesuatu yang tak biasa pada pantulannya, seolah cermin itu tahu siapa yang sedang memandangnya.
“Apa ini?” bisik Adra. Jarinya menyentuh gagang cermin dengan ragu.
“Sebuah cermin lama,” saut sebuah suara dari sudut ruangan. Dari balik bayang, muncul seorang perempuan bergaun abu-abu lusuh. Tatapannya tajam, seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak rahasia.
“Itu tak cocok untuk semua orang,” lanjutnya.
Adra menyunggingkan senyum kecil. “Aku pasti cocok. Semua hal selalu cocok denganku.”
Di dunia luar, Adra dikenal sebagai pemuda rupawan. Wajahnya tegas dan memesona; mata tajam, bibirnya selalu seperti hendak tersenyum. Sejak kecil, pujian adalah udara yang ia hirup. Segalanya datang dengan mudah—pekerjaan, kekasih, bahkan bantuan dari orang asing yang terpikat hanya oleh parasnya.
Namun belakangan, ia merasa tak lagi menjadi pusat. Di kampusnya, seorang perempuan pendatang baru kini jadi sorotan. Senyumnya lembut, caranya bicaranya menenangkan. Ketika Adra lewat, mata-mata yang dulu menoleh padanya kini beralih pada sosok lain. Ia merasa hilang dari panggung yang selama ini dimilikinya.
“Berapa harganya?” tanyanya.
Nyonya itu menatapnya lama sebelum menjawab, “Cermin itu akan menunjukkan siapa dirimu sebenarnya. Bila kau yakin ingin memilikinya, bayar dengan apa yang paling berharga bagimu.”
Adra mengeluarkan dompetnya. Tapi sang penjaga hanya tersenyum samar. “Bukan itu.”
“Kalau begitu, apa?”
“Kepercayaan dirimu.”
Tengkuk Adra meremang. Namun godaan telah menancap dalam. Ia membawa pulang cermin itu dengan langkah ringan, seolah telah mendapatkan senjata rahasia untuk merebut kembali dunia.
Hari-hari setelahnya, cermin itu seolah menjadi bagian dari dirinya. Setiap kali menatapnya sebelum berangkat, wajahnya terlihat lebih sempurna. Matanya lebih tajam, kulitnya bersinar, bibirnya merah alami. Orang-orang mulai memperhatikannya lagi—atau begitulah yang ia rasakan.
Namun perlahan, pantulan di cermin itu mulai berubah. Ia melihat bayangan dirinya dengan senyum sinis, mata yang terlalu tajam, kulit yang terlalu mulus. Bukan lagi cerminan, melainkan bayang gelap yang tumbuh dari dalam dirinya.
Iri itu menjalar diam-diam, hingga suatu malam rasa itu meledak. Ia mengikuti perempuan itu—yang kini menjadi pusat perhatian—sampai ke gang sempit di belakang gedung tua. Hujan turun pelan, seperti malam ketika ia membeli cermin.
Cermin di tangannya bergetar. Getaran yang menyerupai bisikan.
“Dengan sedikit luka di wajahnya… kau akan kembali menjadi pusat dunia.”
Tangannya gemetar. Dalam pantulan cermin, ia melihat dirinya tersenyum lebar, senyum yang tak lagi ia kenali sebagai miliknya.
Namun, tepat saat langkahnya hendak maju, suara Nyonya Delphi kembali menggaung dalam ingatan:
“Cermin itu akan menunjukkan siapa dirimu sebenarnya.”
Dan untuk pertama kalinya, Adra merasa takut. Bukan pada cermin, bukan pada bayangan itu, melainkan pada dirinya sendiri.
Ia melempar cermin itu ke dinding gang. Retakan menjalar seperti akar tua, memecah wajah yang terpampang di permukaannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Adra berjalan pulang tanpa menoleh. Tanpa senyum. Tanpa sorotan mata yang memuja.
Hanya langkah berat seorang lelaki yang akhirnya berani menatap dirinya tanpa topeng.
Di balik bayang toko Antik Agni, Nyonya Delphi berdiri diam. Matanya memandangi pecahan cermin yang mulai menghilang ditelan gelap malam.
Kristal hati pertama… telah gagal menguasai pemiliknya.
Tapi masih ada yang lain. Dan tidak semuanya sekuat Adra.
Penulis: Meyla Hasna & Allysha Novelia
Editor: Nicola Ananda
Ilustrasi: Natania Christiani