Kristal Sang Peramal: Liontin Kesuksesan

6 dilihat

Namuras Adiguna percaya bahwa kesuksesan adalah puncak kehidupan seseorang. Itu adalah kalimat yang selalu diucapkan ayahnya. Bahkan di detik-detik terakhir hidupnya, sang ayah menggenggam tangan Namu sembari berbisik, “Ingat, kesuksesan adalah segalanya.”

Sejak saat itu, kata-kata itu melekat dalam kepalanya.

Setelah bertahun-tahun menghadapi lika-liku hidup dan belajar bisnis dengan tekun, kini Namu berdiri sebagai pebisnis muda sukses. Di usia dua puluh lima, ia berhasil merintis bisnis FnB, yakni sebuah kafe yang berkembang cukup pesat. Kesuksesan ini tak lepas dari pengalaman panjangnya: mulai menjadi pramusaji paruh waktu di kedai mie hingga menjadi staf dapur hotel saat remaja. 

Ambisinya mengakar sejak kecil. Sang ayah kerap mengajaknya menonton acara motivasi bisnis di televisi. Dari situlah Namu tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia bisnis adalah jalannya menuju puncak kehidupan. Berkat ambisi itu, ia kini memiliki dua kafe yang ramai dikunjungi. Hidupnya tercukupi, bahkan ia mampu membantu karyawannya memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Namun hidup tak pernah berhenti memberi ujian. Persaingan pasar semakin ketat, ekonomi memburuk, dan bisnisnya ikut terpuruk. Berbagai strategi ia coba, tapi hasilnya nihil. Frustrasi menggerogotinya. Hingga ia tergoda jalan pintas yang tak pernah ia bayangkan. 

Saran seorang kolega bisnis menyeretnya ke sana.

“Datangi dia. Kau tak perlu bersusah payah, lihat saja bagaimana aku sekarang,” ucap kolega itu dengan senyum lebar penuh kesombongan. 

Di tangannya kini tergenggam kalung perak dengan liontin merah delima kecil. Benda itu ia dapatkan dari seorang spiritualis yang direkomendasikan koleganya. 

“Kalung ini magnet kesuksesan. Apapun yang kau inginkan akan terwujud. Tapi ingat, kau harus bekerja sama dengannya, bukan menguasainya. Hati-hatilah,” pesan sang spiritualis. 

Namu mengangguk. Ia tahu benda-benda seperti ini bisa berbahaya. Tapi pikirannya hanya satu: “Aku hanya butuh ini untuk menyelamatkan bisnis. Setelah itu, aku kembalikan.”

Ia tak berniat berlama-lama berdampingan dengan kalung itu. 

Ajaibnya, kalung merah delima itu benar-benar bekerja. Dalam sehari, ide-ide baru bermunculan di kepalanya. Ia mulai melihat celah kekuatan dan kelemahan bisnisnya yang selama ini terlewat. Ia mengajukan ide-ide itu kepada karyawan, memperbaiki kekurangan, dan dalam hitungan bulan, kafenya bangkit kembali. 

Saat menyentuh liontin di lehernya, ia tersenyum puas. Keraguannya perlahan sirna. “Kalung ini keberuntunganku,” batinnya.

Keberhasilan membawa dampak lain: tawaran kerja sama  berdatangan. Permintaan pasar melonjak. Namu pun memutuskan kafenya buka 24 jam. 

Keputusan ini membuat Ally, sahabatnya sejak SMP sekaligus barista di salah satu kafenya, datang membawa keluhan karyawan. 

“Kawan, kau yakin dengan perubahan ini?” tanya Ally hati-hati.

“Tentu saja. Kita bisa untung lebih banyak,” jawab Namu ringan. 

“Aku paham. Tapi beberapa dari kami kuliah. Ada juga yang harus mengurus keluarga. Jam kerja sepanjang ini berat buat mereka. Pertimbangkan lagi, Namu.”

Namu mendengus. Mengapa karyawannya tak bisa mengimbangi ambisinya? Bukankah risiko pekerjaan sudah mereka pahami?

“Kita harus ikut target. Persaingan gila sekarang. Kalau mereka tak bisa mengikuti, itu masalah mereka,” ujarnya dingin.

Ally terdiam, lalu menepuk bahu Namu. 

“Tolong pikirkan saja keluhan mereka. Aku pulang dulu.”

Namu hanya mengangguk. Dalam hati, muncul secuil keraguan. “Apa aku salah?” Tangannya meraba liontin itu. 

Keputusan Namu terbukti menguntungkan. Pelanggan membludak. Tapi masalah baru datang: satu per satu karyawan mengundurkan diri. Ally kembali menemuinya. 

“Namu, ini sudah tidak layak,” tegas Ally.

“Apa maksudmu?”

“Jam kerja kami panjang, tapi gaji tidak sesuai. Ada yang seharusnya kerja 12 jam, tapi dibayar hanya untuk 8 jam. Bonus yang dijanjikan pun tidak sebanding dengan tenaga yang kami keluarkan.”

Namu terdiam. Ia tahu Ally benar, tapi egonya menolak. 

“Aku membangun ini dengan susah payah. Wajar aku menikmati hasilnya,” katanya datar.

Ally menggeleng tak percaya. 

“Kesuksesanmu tak lepas dari kerja keras kami juga, Namu. Tapi sekarang kau perlakukan kami seperti budak. Kalau begitu, aku berhenti.”

Satu per satu karyawan lain mengikuti jejak Ally. Kafe yang dulu hidup kini kosong. Tapi Namu menolak menyalahkan dirinya.

“Mereka yang lemah. Aku masih punya kalung ini.”

Hari-hari berlalu, tapi keberuntungan tak kunjung kembali. Pelanggan menghilang, kontrak kerja sama diputus. Reputasinya hancur, kabar dirinya sebagai bos kejam menyebar. Ia menutup satu kafe, mengurus sisanya sendirian. 

Sebulan penuh, tak satu pun pelanggan datang. 

Di kafe yang sunyi, Namu berdiri menatap balok tua di langit-langit. Kursi-kursi berantakan, aroma kopi lenyap. Liontin di mejanya tergelincir, jatuh tanpa suara. 

Waktu terus berjalan, tapi baginya berhenti. 

Ia lupa, kesuksesan tak pernah ia bangun sendiri. Ada Ally, ada karyawan, ada orang-orang yang dulu mendorongnya maju. Ia kehilangan semuanya karena keserakahan. Kini, ia hanya punya dirinya dan kehancuran yang ia ciptakan sendiri. 

Penulis: Meyla Hasna, Allysha Novelia
Editor: Nicola Ananda
Ilustrasi: Nadila Laurencia Revalline

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Kristal Sang Peramal: Bagian 1

0 $0.00