/

Antara Harapan dan Putus Asa: Indonesia Bubar Sebelum 2030?

/
113 dilihat

Arus peradaban semakin rumit dan mendalam. Keberlangsungan zaman pada akhirnya memunculkan berbagai pertanyaan retoris, seperti apakah Indonesia akan bubar? Siapa yang akan membubarkan Indonesia? Mengapa Indonesia bubar? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kiranya harus mengetahui bahwa pertanyaan tersebut merupakan refleksi penulis atas riuhnya kondisi Indonesia belakangan ini. Sebenarnya pada tahun 2017, Prabowo Subiantoyang waktu itu belum menjadi presidensudah pernah mengatakan bahwa Indonesia berpeluang bubar sebelum tahun 2030.

Pernyataan Prabowo kala itu disampaikan di konferensi partai Gerindra di Jawa Barat. Narasi tersebut hadir bukan sekadar sebagai kata tanpa makna, melainkan menjadi sinyal bahwa terdapat masalah serius yang harus diperhatikan oleh negara terhadap aspek-aspek yang berpotensi membuat suatu negara bubar.

Apa Makna Kata “Bubar”?
Sebelum melangkah lebih jauh, dalam bahasa Inggris setidaknya terdapat empat padanan kata “bubar”, yaitu “failure”, “collapsed”, “defunct”, dan “disintegrate”. Supaya tidak menimbulkan banyak tafsir terhadap kata “bubar”, penulis merujuk kata “collapsed” sebagai padanan kata “bubar”. Dalam konteks kehidupan bernegara, penggunaan kata collapsed sesuai dalam penggambaran bubarnya negara yang tampak bagus dari luar namun rapuh di dalamnya.

Menurut Robert Rotberg dalam bukunya When States Fail, parameter bubarnya negara ditinjau melalui aspek ekonomi, produktivitas rakyat, dan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, aspek-aspek tersebut dapat digunakan untuk meninjau lebih lanjut potensi bubar atau tidaknya sebuah negara. Melalui tulisan ini, Indonesia menjadi studi kasus untuk mengevaluasi potensi itu.

Mengapa Negara Bisa Bubar dan Kondisi Ekonomi Indonesia
Merujuk pada buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James Robinson, bubarnya suatu negara disebabkan oleh institusi ekstraktif (extractive institution) dimana suatu kekuasaan terkontrol pada suatu instansi atau lembaga yang menjadi titik pusat. Sementara menurut Thomas Piketty dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century, apabila negara mengalami ketimpangan modal yang disebabkan oleh oligarki, maka negara akan runtuh karena cengkraman oligarki yang kuat, dimana tingkat pengembalian modal lebih besar dari pertumbuhan ekonomi dan yang terkena imbasnya adalah rakyat. Meskipun kekuasaan politik di Indonesia tidak dikontrol oleh satu pusat, namun terdapat kecenderungan praktik ekstraktif secara masif yang dilakukan oleh oligarki dan pemerintah.

Ekonomi merupakan salah satu faktor negara bisa bubar. Pengangguran yang menumpuk serta kehampaan akses kerja merupakan dua contoh masalah ekonomi terbesar saat ini. Ketidakmerataan ekonomi masih menjadi masalah yang belum teratasi. Berdasarkan data BPS, gini ratio pada Maret 2025 adalah sebesar 0,375, sedikit menurun dari 0,381 yang terdaftar pada September 2024. Namun ketidakmerataan itu masih terpampang jelas saat ini. Gini ratio di daerah perkotaan adalah sebesar 0,395, sedangkan di wilayah pedesaan tercatat 0,299. Pada saat yang sama, jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta jiwa atau 8,47% dari total populasi Indonesia.

Pengangguran menjadi aspek lain yang disorot dalam perdebatan soal bubarnya Indonesia. Ibarat fondasi rumah yang keropos, jika tidak segera diperbaiki, hanya menunggu waktu saja sebelum runtuh. Berdasarkan data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka per Agustus 2025 adalah sebesar 4,85% atau 7,46 juta jiwa. Ironisnya, persentase anak muda Indonesia berusia 15–24 tahun yang mengalami pengangguran adalah sebesar 16,89%. Hal tersebut menunjukkan bahwa generasi penerus justru hinggap di tengah ketidakpastian jaminan pekerjaan serta cengkraman pengangguran yang kuat. Pengangguran yang berceceran, kondisi ekonomi menayangkan kesenjangan, dan kerapuhan itu bermuara pada krisis kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemerintah.

Krisis Legitimasi Menuju Pembubaran
Pemerintah mendapatkan legitimasi dengan mengupayakan kesejahteraan rakyat Indonesia. Menghentikan “goncangan” dalam aspek-aspek penting ekonomi, ketenagakerjaan, dan sosial-budaya yang terjadi akhir-akhir ini merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang kuasa. Robert Rotberg dalam bukunya When States Fail menyebutkan bahwa negara harus menyediakan political goods yang merupakan sumber legitimasi kekuasaan. Hal ini dilakukan dengan menjamin kesejahteraan, keamanan, dan keadilan.

Akan tetapi, protes yang dilakukan masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pemerintah belum efektif dalam menghentikan goncangan-goncangan tersebut. Perlu langkah lebih besar dan niat politik agar dapat mengantarkan kepada harapan masa depan Indonesia yang lebih cerah.

Di lain sisi, hasil riset EIU (Economist Intelligence Unit) menyebutkan bahwa demokrasi Indonesia menduduki peringkat 59 dari 167 negara dengan skor 6,44. Indonesia termasuk dalam kategori flawed democracy atau demokrasi yang cacat. Suara dibungkam dan kritik dianggap ancaman, penempatan peringkat tersebut membuat ruang demokrasi tergerus dan legitimasi pemerintah perlahan runtuh, karena tidak menjamin kesejahteraan, keamanan, serta keadilan.

Merajut Harapan atau Pasrah dengan Keadaan?
Pertanyaan “Indonesia Bubar Sebelum 2030?” menjadi alarm bahwa kita sedang menghadapi situasi serius yang berpotensi membuat Indonesia bubar. Dalam sejarah, telah banyak preseden dalam sejarah yang dapat menjadi pelajaran. Misalnya, Uni Soviet bubar karena ketimpangan ekonomi dan Yugoslavia yang bubar karena kekuasaan yang terlalu terpusat.

Jika pemerintah terus membuat kebijakan yang merugikan rakyat secara umum, cepat atau lambat Indonesia akan bubar. Sebaliknya jika pemerintah berupaya memperbaiki kebijakan yang merugikan rakyat, maka Indonesia jauh dari potensi bubar.

Penulis: Fakhrul Bayu
Editor: Michael Alexander
Ilustrasi: Natania Christiani

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

“Tone Deaf” di Tengah Krisis Politik: Peka atau Tidak Peka?

0 $0.00