SCIENTIARUM – Julukan surga dunia kini mulai pudar. Raja Ampat, gugusan pulau eksotis di Papua Barat Daya, perlahan digusur dan dikeruk atas nama investasi dan industri tambang. Kabupaten Raja Ampat memiliki 610 pulau, namun hanya 35 yang berpenghuni. Ibu Kotanya terletak di Waisai. Keindahan alam dan lautnya menjadikan Raja Ampat dijuluki sebagai surga terakhir dunia—tempat dimana Tuhan seolah tersenyum saat menciptakannya.
Raja Ampat adalah rumah bagi keanekaragaman hayati laut. Di sini terdapat hampir 75 persen spesies terumbu karang yang telah diketahui dunia. Ekosistemnya merupakan salah satu yang terkaya dan terluas di bumi.
“Demi Menggali Nikel, Kita Rela Mengubur Surga”
Kutipan yang ditulis akun Instagram @whiteboardjurnal, menyuarakan keresahan atas aktivitas pertambangan yang kini kembali marak di beberapa pulau Raja Ampat, termasuk Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Izin dari pertambangan di wilayah ini bukan perkara baru. Rantai legalitasnya menjalar sejak masa Orde Baru.
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), izin tambang sempat dicabut, seiring keluarnya UU No 41 Tahun 1999 yang menetapkan Pulau Gag sebagai kawasan hutan lindung.
Namun, setelah era Gus Dur berakhir, kontrak tambang kembali diaktifkan dengan alasan izin sudah terbit sebelum UU tersebut berlaku.
PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama kemudian memperoleh izin resmi masing-masing pada tahun 2017 dan 2013. Artinya, aktivitas pertambangan di pulau-pulau itu kini dinyatakan legal.
Sebagai kawasan hutan lindung, aktivitas tambang seharusnya tunduk pada prinsip keberlanjutan. Apapun bentuknya, pertambangan mengancam ekosistem dan budaya lokal. Kerusakan lingkungan kerap bersifat jangka panjang dan tak selalu tampak seketika.
Pemerintah berdalih bahwa lokasi pertambangan berada cukup jauh dari pusat pariwisata Raja Ampat. Pulau Gag misalnya berjarak sekitar 30 kilometer atau empat jam perjalanan laut dari Waisait. Namun, sejauh ini belum ada teknologi tambang yang benar-benar bebas dari dampak lingkungan.
Legalitas izin berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tetap menyisakan pertanyaan. Sebab, kegiatan tambang di hutan lindung bertentangan dengan semangat konservasi dan perlindungan jangka panjang.
Didesak publik dan kelompok masyarakat sipil, Presiden akhirnya menggelar rapat terbatas. Selasa, 10 Juni 2025, pemerintah mengumumkan pencabutan empat dari lima izin tambang di Raja Ampat. “Mempertimbangakan semua yang ada secara komprehensif, Bapak Presiden memutuskan bahwa empat IUP yang di luar PT Gag Nikel dicabut. Saya langsung melakukan langkah-langkah teknis berkoordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup (LH) maupun Kementerian Kehutanan,” tegas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam Konferensi Pers di Istana Negara Jakarta.
Tapi satu perusahaan lolos: PT Gag Nikel. Pemerintah berdalih pengawasan ketat akan dilakukan. “Amdal-nya harus ketat. Tidak boleh merusak terumbu karang. Kita akan awasi habis,” ujar Bahlil.
Janji pengawasan itu tak membuat pegiat lingkungan tenang. Mereka khawatir pembiaran satu tambang di kawasan konservasi justru membuka celah eksploitasi serupa di masa depan.
Penulis: Daniel Ranu
Editor: Nicola Ananda
Ilustrasi: Yemuel Aldo Benaya