Katanya Asri Tapi Bikin Hati-Hati: Kondisi Jalan Menuju FTI

483 dilihat

Pada hari Selasa (13/05/2025), Scientiarum berkesempatan mewawancarai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana (FTI UKSW) beserta beberapa fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan Fakultas (LKF) lainnya. Dalam wawancara tersebut, mereka menyerukan tentang kondisi jalan menuju Kampus Notohamidjojo yang bermasalah.

Keterangan tertulis rektor tentang niat pimpinan universitas untuk menjaga agar lingkungan (di sekitar FTI) tetap asri dengan memperbaiki jalan, dinilai bertolak belakang dengan realita. Kata “asri” justru memantik keresahan mahasiswa. Bagi mereka, keindahan pemandangan tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan yang penuh risiko. 

Ketua SMF FTI, Klemens Imanuel, menjelaskan bahwa jalan yang sering dilewati oleh mahasiswa merupakan hasil pengembangan bersama oleh pemilik lahan sebelumnya, universitas, dan Pemerintah Kota Salatiga. Namun, saat ini mahasiswa harus berhadapan dengan jalan yang bergelombang, curam, dan rawan kecelakaan.

Spanduk protes mahasiswa FTI yang dipasang pasca aksi ‘turun gunung’ pada tanggal 5 Mei

“Kalau aku setengah mati ke FTI, rasanya dag dig dug setiap naik maupun turun. Kata ‘asri’ itu kemarin bikin teman-teman tersinggung. Memang city light-nya bagus, tapi hanya itukah? Jalannya bergelombang, curam, dan rawan kecelakaan,” tegas Klemens.  

Masalah yang juga menjadi sorotan mahasiswa FTI adalah keberadaan polisi tidur tanpa izin yang dinilai terlalu tinggi. “Tinggi banget, nggak ada izin, dan itu tuh ada kayu di dalamnya. Waktu semennya kegerus ditambal lagi dan jadi makin tinggi,” kata Putri, perwakilan Komisi Advokasi Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) FTI. 

Kondisi jalan dirasa makin parah dengan munculnya lumpur yang diakibatkan oleh proyek pembangunan di dekat portal masuk Kampus Notohamidjojo dari arah Bukit Soka. Cara pembersihan pun dinilai kurang tepat. 

“Malah cuma disiram. Harusnya disapu dulu, dipinggirkan, baru disiram atau gimana gitu. Petugasnya pun cuma diam, baru gerak pas ada orang lewat. Bahkan kemarin sempat marah saat mau kami rekam,” jelas Putri. 

Klemens menambahkan bahwa saat mahasiswa mendokumentasikan dan melaporkan masalah itu, proyek tiba-tiba berhenti dan jalan langsung dibersihkan. “Anehnya saat kami mulai rebut, posting bukti, tempel spanduk, pembangunan berhenti. Jadi ya wajar dong kak kami curiga. Tapi ya kami juga nggak bisa asal bicara, akhirnya cuma bisa track lewat sosial media.”

Selain keberadaan lumpur dan polisi tidur yang terlalu tinggi, jalan juga tidak rata. Para fungsionaris LKF yang diwawancarai menuturkan bahwa jalan tersebut sebenarnya sudah pernah diperbaiki, namun truk proyek yang sering melintasi jalan menjadi bergelombang.

“Kalau dilewatin tuh rasanya kek gempa naik turun gitu,” ucap salah satu fungsionaris.

Selain itu, tanjakan curam dan sisi kanan jalan—sebelum portal masuk—yang rawan longsor juga memambah risiko, terutama saat hujan turun.

Tidak sedikit mahasiswa yang telah menjadi korban akibat kondisi jalan saat ini. Berdasarkan laporan dari mahasiswa kepada Komisi Advokasi, sudah ada 12 orang yang mengalami kecelakaan pada tahun ini. Putri mengungkapkan bahwa jumlah kecelakaan sebenarnya lebih banyak dari jumlah tersebut.

“Waktu acara ‘turun gunung’ (pergerakan mahasiswa FTI dari Kampus Notohamidjojo ke Kampus Diponegoro pada aksi 5 Mei lalu) ada yang jatuh di depanku. Itupun masih kering belum becek. Jadi kalau dibilang cuma 12 ya nggak masuk akal, soalnya banyak banget yang jatuh,” ujarnya.

Menurut Klemens, FTI telah mengupayakan langkah-langkah formal, termasuk rencana fakultas mengirim surat kepada pihak pembuat polisi tidur untuk meminta penyesuaian atau pembongkaran. Namun surat tersebut belum dilayangkan karena terbentur beberapa alasan. 

“Kalau dari fakultas nanti takutnya salah, malah bisa kena. Ini kan harusnya jadi wewenang kampus dan pemerintah ya,” tutur Klemens. 

Klemens menyampaikan bahwa tuntutan terkait kondisi jalan ini harus segera ditindaklanjuti. Pihak rektorat dirasa perlu melihat situasi lapangan secara langsung. Evaluasi dan tindak lanjut terhadap kondisi jalan yang memprihatinkan harus segera dilakukan.

“Penanganannya dong yang benar. Kami lewat situ tiap hari, masa harus was-was terus,” tegas Putri. 

Bagi mahasiswa FTI, jalan menuju kampus bukan sekadar akses fisik, namun juga tentang keselamatan dan keadilan. Melalui berbagai dokumentasi serta proses advokasi, mereka berharap agar suara mereka didengar dan ditindaklanjuti.


Reporter: Setyo Budi Nugroho
Penulis: Setyo Budi Nugroho
Editor: Michael Alexander Budiman
Foto: Dok. Komisi Advokasi BPMF FTI

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

UKSW, Kamu Kenapa: Tumpukan Masalah di UKSW

Next Story

Suara Anak di Rumah Sendiri: Teriakan Cinta Anak untuk Orang Tuanya di Satya Wacana

0 $0.00