Ketika saya memilih untuk berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) setelah lulus sekolah menengah atas (SMA), pilihan tersebut tidak hanya didasari oleh keinginan melanjutkan pendidikan. Saya tidak hanya ingin tumbuh secara akademik, tetapi juga mendapatkan ruang di mana saya bisa menjadi pribadi yang mampu berpikir kritis dan mandiri.
Informasi yang saya peroleh dari rekan sejawat ayah—yang bekerja di sebuah lembaga yang pernah dikepalai oleh B.J. Habibie—membuka mata saya pada sosok-sosok inteletual di UKSW. Lebih dari sekadar pengajar biasa, mereka adalah para pemikir sosial yang berani mempertanyakan arus utama dan mengajak mahasiswa untuk melihat dunia dari perspektif berbeda.
Anehnya, di tengah keberadaan sosok-sosok hebat itu, UKSW belum banyak dikenal, bahkan oleh orang-orang terdekat saya sekalipun. Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya tentang bagaimana sebuah institusi yang sarat dengan pemikiran kritis dan keberanian intelektual bisa saja tersembunyi dan kurang mendapat sorotan.
Saat harus menjelaskan tentang UKSW kepada orang tua teman-teman saya yang penasaran, saya selalu menyebut “UKSW kampusnya Arief Budiman.” Nama itu seolah menjadi lambang kepercayaan dan mutu yang membuat mereka cepat memberi pengakuan, “Oooo, universitas yang bagus itu!” Namun ketika saya mulai menapaki jalan di kampus ini, saya menyadari bahwa bagi sebagian kelompok di UKSW, nama tersebut tampak seperti sesuatu yang ingin dilupakan atau bahkan diabaikan.
Sebagai alumni UKSW angkatan 2000, saya menyaksikan dinamika kampus ini selama lebih dari dua dekade, baik dari dalam maupun dari kejauhan. Meskipun saya bukan saksi langsung krisis tahun 1994, saya dibentuk oleh warisannya. Banyak dari dosen saya, bahkan beberapa teman kakak angkatan saya, yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Salah satu tokoh sentralnya, Prof. Arief Budiman, juga menjadi mentor saya saat menjalani studi doktoral di University of Melbourne. Kini—hampir tiga dekade kemudian—saya melihat krisis baru muncul, dan dengan rasa cemas saya melihat pola lama yang mulai berulang.
Luka Lama yang Belum Pulih
Pemilihan rektor UKSW periode 2022–2027 telah menyebabkan perpecahan yang tajam antara yayasan dan civitas academica. Yayasan Pendidikan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) kembali mengambil keputusan yang mengabaikan proses demokrasi yang seharusnya berlangsung. Penunjukan rektor tanpa melalui proses transparan mengingatkan saya pada konflik serupa yang terjadi pada tahun 1993.
Kala itu, UKSW mengalami krisis identitas yang berat. YPTKSW memilih Prof. John Ihalauw, seorang alumnus UKSW, sebagai rektor, meskipun mayoritas suara Senat diberikan kepada Prof. Liek Wilardjo, yang merupakan alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM). Keputusan ini memicu penolakan luas. Beberapa dosen senior, termasuk Arief Budiman, mengajukan mosi tidak percaya. Sebagian mengundurkan diri secara sukarela, sementara yang lain diberhentikan dengan tuduhan pelanggaran aturan.
Mahasiswa melakukan aksi protes dengan turun ke jalan, mendirikan posko, dan menyampaikan kritik melalui berbagai bentuk seni, mulai dari teater hingga puisi. Kampus berubah menjadi medan pertempuran ideologis antara kelompok pendukung YPTKSW serta rektor terpilih John Ihalauw yang menyebut diri mereka Kelompok Penyelamat dan Penegak UKSW (PPU), dan kelompok pendukung demokrasi yang tergabung dalam Kelompok Pro-Demokrasi (KPD). Konflik internal ini membuat UKSW menjadi sorotan nasional. Lebih dari 40 dosen dipecat atau memilih untuk mundur. Hilangnya para intelektual progresif ini menjadi sebuah pukulan besar bagi reputasi akademik dan kebebasan berpikir di kampus.
Dampak krisis tersebut terasa sangat lama dan mendalam. Eksodus dosen melemahkan kualitas akademik dan menyebabkan UKSW kehilangan fokus arah pengembangannya selama bertahun-tahun. Hubungan antar civitas yang sebelumnya akrab menjadi renggang. Beberapa bahkan tidak pernah berkomunikasi lagi sampai sekarang. Luka lama itu terus dikenang sebagai cerita kelam yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Serupa Tapi Tak Sama
Kini hampir tiga puluh tahun kemudian, sejarah seolah berputar kembali dengan wajah yang berbeda. Pemilihan rektor 2022 mengukuhkan Prof. Intiyas Utami sebagai pemenang dengan suara mayoritas anggota pembina YPTKSW. Layaknya Prof. Liek Wilardjo di masa lalu, Prof. Intiyas Utami juga merupakan alumnus UGM. Meskipun prosedur pemilihan dianggap sah, gelombang kontroversi menunjukkan bahwa demokrasi bukan sekadar hitung-hitungan suara.
Berbagai isu muncul, mulai dari dugaan dokumen yang tidak sesuai, validitas dukungan, hingga upaya hukum dan laporan pidana. Hal ini menandakan bahwa persoalan bukan hanya bersifat teknis administratif, melainkan juga krisis kepercayaan terhadap proses akademik. Pasca pelantikan, suasana kampus berubah. Ruang diskusi menjadi terbatas, kritik dibungkam secara halus, dan para mahasiswa serta dosen yang sebelumnya vokal mulai menahan diri. Kepemimpinan terkesan enggan membuka dialog, sementara jarak antara YPTKSW dan komunitas akademik melebar karena kebijakan yang cenderung sepihak.
Dalam keseharian, diam menjadi strategi bertahan. Diskusi yang dahulu hidup kini nyaris hilang. Jika kondisi ini dibiarkan, kepercayaan yang menjadi fondasi institusi pendidikan akan terkikis. Pertanyaannya bukan lagi siapa yang menjadi rektor, melainkan bagaimana proses itu dijalankan, nilai-nilai apa yang dipegang, dan ke arah mana institusi ini hendak melangkah.
Ironi dalam Pergantian Peran
Yang membuat situasi saat ini semakin ironis adalah kenyataan bahwa kelompok yang dulu memenangkan pertarungan politik dalam krisis 1994 kini berada dalam posisi yang kalah pada tahun 2022. Sejarah memang memiliki kecenderungan untuk berulang, namun tidak selalu dengan pemeran dan dalam bentuk yang sama.
Ada semacam putaran waktu yang membawa mereka yang dulu berkuasa pada posisi yang berbeda, bahkan bertentangan dengan masa lalu mereka sendiri. Secara manusiawi, saya merasa ada kepuasan tertentu melihat bahwa hukum sebab-akibat tetap berlaku. Mereka yang dahulu menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendak dan menyingkirkan lawan politiknya, kini menghadapi situasi yang serupa. Namun, rasa puas itu dibarengi dengan keprihatinan mendalam atas apa yang sedang terjadi pada institusi yang kita cintai ini.
Kesedihan saya bukanlah untuk individu-individu yang terlibat, melainkan untuk institusi Universitas Kristen Satya Wacana yang tampaknya gagal menangkap pelajaran berharga dari sejarahnya sendiri. Sebuah institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana nilai-nilai keadilan, transparansi, dan tanggung jawab dijunjung tinggi, bukan arena di mana pola lama konflik dan ketidakadilan terus berulang. Jika UKSW tidak mampu membangun sistem yang tangguh, yang mampu melindungi demokrasi internal dan menjamin keberlangsungan dialog kritis tanpa intimidasi atau dominasi, maka sejarah kelam yang pernah dialami akan menjadi siklus yang tidak berujung. Inilah saatnya bagi kita semua untuk menyadari bahwa kegagalan ini bukan hanya persoalan masa lalu, tetapi ancaman nyata bagi masa depan kampus dan generasi mendatang.
Pergantian peran dalam sejarah ini seharusnya menjadi momen refleksi yang mendalam bagi seluruh civitas academica. Kita semua, tanpa terkecuali, harus bertanya pada diri sendiri apakah kekuasaan di kampus telah berubah menjadi tujuan akhir yang terpisah dari makna sejatinya. Apakah posisi dan jabatan telah menjadi semacam status dan alat kekuasaan yang melupakan peran utamanya sebagai sarana membangun komunitas akademik yang beretika, bermartabat, dan penuh rasa tanggung jawab sosial? Ketika mereka yang dulu memperjuangkan demokrasi mulai menunjukkan sikap otoriter, kita harus berhenti sejenak dan mempertanyakan, apakah kita telah kehilangan arah? Apakah kita masih mampu menjaga cita-cita luhur universitas sebagai tempat pembelajaran, pencarian kebenaran, dan pembentukan karakter yang mulia?
Inilah panggilan bagi kita semua untuk bangkit dan memastikan bahwa sejarah tidak lagi menjadi lingkaran setan yang terus mengikat masa depan kita dalam bayang-bayang masa lalu.
Mengulang yang Belum Tuntas
Mengapa krisis yang kita alami sekarang terasa begitu familier, seolah kita sedang menonton ulang sebuah drama lama dengan pemain yang berbeda? Jawabannya terletak pada pola intervensinya. Proses pemilihan rektor yang semestinya menjadi kewenangan Senat secara demokratis kembali dipertanyakan karena munculnya keputusan sepihak dari YPTKSW. Meski aturan hukum telah berubah dan prosedur tampak sah secara administratif, inti persoalannya masih sama. Kita masih menyaksikan pertarungan antara akal sehat akademik dan kekuasaan struktural.
Reaksi terhadap hasil pemilihan juga mengikuti pola yang sudah pernah terjadi. Ada gugatan hukum, ada kritik moral, dan ada tekanan, baik yang bersifat halus maupun secara langsung, terhadap mereka yang memilih untuk diam atau tak mendukung kepemimpinan baru. Ini menunjukkan bahwa sumber masalah sebenarnya belum diselesaikan. Krisis ini seperti berjalan di atas tanah yang terlihat stabil, padahal rapuh di dalamnya.
Akan tetapi, terdapat sebuah perbedaan penting. Krisis 1994 terjadi di bawah bayang-bayang Orde Baru, ketika pembungkaman suara dan kontrol ketat dianggap wajar. Sekarang kita hidup di era demokrasi, tetapi justru terlihat ragu-ragu dalam menjalankan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Keterbukaan zaman ternyata tidak otomatis melahirkan keberanian untuk bersikap terbuka. Di sinilah letak ironi kita sebagai komunitas akademik.
Luka Kecil yang Diabaikan
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa kondisi UKSW hari ini belum bisa disebut krisis karena belum terjadi peristiwa-peristiwa dramatis. Tidak ada eksodus dosen secara besar-besaran, belum terlihat pemecatan massal, dan aktivitas akademik secara umum masih berlangsung. Kalender akademik masih berjalan, kelas-kelas tetap diisi, dan mahasiswa tetap datang ke kampus seperti biasa. Namun, justru situasi seperti inilah yang patut diwaspadai. Ketika luka-luka tampak kecil, ketika keretakan tidak langsung terlihat di permukaan, maka kita sering tergoda untuk menganggap semuanya baik-baik saja. Kita menjadi lengah terhadap gejala-gejala dini yang seharusnya menjadi alarm.
Dalam sejarah, krisis besar sering kali tidak muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan dari dibiarkannya masalah-masalah kecil. Ketika satu keputusan otoriter dibiarkan tanpa koreksi, ketika satu ruang diskusi ditutup dan tidak ada yang memprotes, dan ketika satu orang dipinggirkan karena menyuarakan kritik tanpa ada solidaritas, maka itulah awal dari krisis yang lebih besar. Jika kita terus membiarkan ini terjadi, maka dampaknya tidak akan berhenti pada segelintir individu saja.
Mahasiswa akan menjadi korban pertama. Mereka akan kehilangan para pengajar yang selama ini menjadi inspirasi, baik karena mundur secara diam-diam maupun karena dibungkam oleh suasana yang tidak lagi kondusif. Iklim belajar yang seharusnya terbuka, dialogis, dan merangsang daya kritis akan berubah menjadi ruang yang penuh ketegangan. Rasa takut untuk bertanya, ragu untuk berpendapat, dan enggan untuk berpikir beda akan tumbuh menjadi norma baru. Kampus yang semestinya menjadi tempat subur bagi tumbuhnya gagasan akan perlahan menjadi tempat yang steril dari perbedaan suara.
Reputasi institusi pun akan ikut terganggu. UKSW bukan hanya dikenal karena bangunannya atau nama besarnya, tetapi karena ekosistem akademiknya yang selama ini dihormati oleh masyarakat luas. Jika krisis ini terus berkembang tanpa refleksi dan perbaikan, maka kepercayaan publik terhadap integritas universitas akan merosot. Mahasiswa dari luar mungkin akan berpikir dua kali sebelum mendaftar. Dosen-dosen berkualitas mungkin tidak lagi tertarik untuk bergabung. Mitra-mitra akademik dan institusional bisa saja mulai mengambil jarak. Semua ini akan mempengaruhi posisi UKSW, bukan hanya secara lokal, tetapi juga secara nasional bahkan internasional.
Yang lebih penting untuk direnungkan adalah makna sejati dari sebuah universitas. Sebuah universitas tidak hanya berfungsi sebagai tempat pendidikan formal. Ia bukan sekadar tempat untuk mencetak lulusan dengan indeks prestasi tinggi, bukan pula pabrik tenaga kerja yang patuh dan tidak kritis. Universitas adalah ruang hidup bagi pertumbuhan intelektual, tempat di mana gagasan diuji, di mana perbedaan dihargai, dan di mana keberanian berpikir mandiri ditumbuhkan.
Mahasiswa tidak datang ke universitas untuk menghafal jawaban yang sudah disiapkan. Mereka datang untuk belajar bagaimana mengajukan pertanyaan yang berani, untuk menumbuhkan kepekaan terhadap persoalan sosial, dan untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Dosen tidak hadir hanya untuk menyampaikan materi kuliah, tetapi untuk mendampingi proses pertumbuhan intelektual dan moral mahasiswa sebagai manusia utuh. Jika nilai-nilai ini hilang, maka yang rusak bukan hanya sistem akademik, tetapi seluruh fondasi keberadaan UKSW sebagai universitas.
Oleh karena itu, membiarkan luka-luka kecil ini terus menganga tanpa penanganan bukanlah tanda kestabilan, itu justru pertanda bahwa kita sedang menunda krisis yang jauh lebih besar. Dan ketika krisis itu datang, kita tidak bisa lagi menyalahkan siapa pun selain diri kita sendiri yang memilih diam.
Apakah Kita Sudah Belajar dari Sejarah? Atau Hanya Melewatinya?
Yang paling menyedihkan dari situasi sekarang adalah kenyataan bahwa sejarah tampaknya tidak berhasil mengajarkan apa pun. Padahal, UKSW pernah menjadi pelajaran hidup tentang bagaimana konflik nilai dapat menggerogoti sebuah institusi pendidikan dari dalam. Tetapi hari ini, kita justru menyaksikan bab lama kembali dibuka, seolah kita tidak pernah belajar dari masa lalu.
Mungkin persoalannya terletak pada kegagalan institusi dalam membangun mekanisme penyembuhan dan rekonsiliasi pasca-krisis. Krisis tahun 1994 tidak pernah diakhiri dengan cara yang benar. Tidak ada ruang untuk refleksi bersama, tidak ada upaya serius untuk memahami luka-luka yang ditinggalkan. Mereka yang tersingkir kala itu dibiarkan pergi begitu saja, tanpa jembatan menuju pemulihan. Sementara pihak yang menang juga tidak membangun tradisi evaluasi diri. Kemenangan menjadi alasan untuk melupakan, bukan untuk memperbaiki.
Kini, ketika peran-peran itu berbalik, pola sikap yang muncul tampak sama. Pihak yang merasa dirugikan mengulang narasi perlawanan, gugatan, dan keluh kesah. Sementara pihak yang berada di tampuk kekuasaan terlihat mengulangi kesalahan lama, yakni menekan perbedaan suara, membatasi ruang kritik, dan merasa paling berhak menentukan arah.
Situasi ini menunjukkan bahwa tanpa kesadaran kolektif untuk belajar dan berubah, sejarah akan terus menjadi cermin retak. Cermin itu akan tetap memperlihatkan wajah kita, tetapi selalu dalam bentuk yang pecah dan tak pernah utuh. Kita akan terus melihat refleksi dari krisis yang sama, hanya dengan wajah-wajah yang berbeda, tetapi dengan cara yang tak berubah. Dan selama itu terjadi, universitas tidak akan pernah benar-benar menjadi tempat bertumbuh, melainkan hanya menjadi panggung di mana konflik yang tak selesai terus diputar ulang.
Karena Waktu Tidak Pernah Menunggu
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyerang satu pihak atau membela pihak lainnya. Penulis menyadari bahwa dirinya tidak berada di kampus saat ini, dan bahwa dinamika internal jauh lebih rumit daripada yang terlihat dari luar. Namun sebagai alumni yang masih peduli dan merasa terikat secara emosional dan intelektual dengan UKSW, ada kebutuhan untuk mengingatkan bahwa kampus ini pernah terluka, dan kita tahu betapa dalamnya luka itu terasa.
Masih ada waktu untuk mencegah agar krisis hari ini tidak berkembang menjadi sebesar krisis tahun 1994. Namun hal itu hanya bisa terjadi jika semua pihak bersedia membuka ruang dialog. Ini mencakup YPTKSW, rektorat, senat, para dosen, mahasiswa, dan juga para alumni. Dialog yang dimaksud bukanlah ajang saling menyalahkan atau mempertahankan posisi masing-masing, melainkan ruang untuk menyusun kembali komitmen terhadap nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi berdirinya universitas ini. Nilai-nilai seperti demokrasi, integritas, kebebasan akademik, serta dedikasi pada pelayanan bagi masyarakat luas.
UKSW tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi milik satu kelompok, apalagi dikendalikan oleh kepentingan jangka pendek. Ia dibangun atas dasar kepercayaan bahwa pendidikan adalah jalan perubahan, tempat orang-orang belajar menjadi lebih bijak dan bertanggung jawab. Bila kampus ini dibiarkan kembali terjerumus ke dalam pola konflik kekuasaan yang sempit, maka sesungguhnya yang kita hancurkan bukan hanya sebuah institusi, melainkan rumah bersama yang selama ini menjadi tempat bertumbuh bagi ribuan insan.
Kenangan, Harapan, dan Cermin
Saya tidak memiliki kekuasaan atau jabatan di kampus ini. Namun, saya membawa memori dan kesaksian. Saya pernah belajar, tumbuh, dan menemukan arah hidup di sini. Karena itu, saya merasa punya tanggung jawab untuk menyuarakan kegelisahan yang saya rasakan.
Suara saya sebagai seorang alumni ibarat cermin dari luar. Suara itu tidak bisa memaksa perubahan, tetapi dapat memperlihatkan hal-hal yang mungkin terlupakan atau terabaikan. Suara alumni mengingatkan bahwa kampus ini bukan hanya milik mereka yang hadir hari ini, melainkan juga milik mereka yang pernah menjadi bagian darinya.
Saya juga menulis ini untuk mahasiswa yang kini berada di dalamnya. Teman-teman semua adalah penentu masa depan UKSW. Jangan biarkan sejarah hanya ditulis oleh mereka yang sedang berkuasa. Tulislah sejarah itu dengan keberanian, ketajaman pikiran, dan hati yang tulus ingin belajar. Karena jika kita gagal mengambil pelajaran dari masa lalu, masa depan hanya akan menjadi salinan suram yang tidak membawa kemajuan.
Tulsian ini penulis dedikasikan kepada almarhum Marthen Ndoen, dosen ekonomi studi pembangunan dan mentor penulis.
Penulis: IPTAS (alumni UKSW dan kandidat doktor di University of Melbourne)
Editor: Michael Alexander
Ilustrasi: Ariel Wotulo
Saya salah satu saksi sejarahnya brother…
Ketika itu campur tangan pemerintahlah, yang memperburuk situasi.
Inget brow… Itu jaman Orba.
Semua serba diatur, semua serba diintervensi.
Ketika itu demo blm lazim, perbeda pemikiran adalah barang haram.
Jadi ‘budaya demokratis ala UKSW’ vs Orba
Bgmn teman2 ditangkap aparat,Intel yg berkeliaran di kampus saya saksikan sdr.
Bahkan sampai saya harus ‘lari’ ke Jakarta saat itu.
Media Nasional dan lokal setiap hari memberitakan konflik di UKSW.
Banyak tokoh2 Nasional macam bang Adnan Buyung pun berusaha membantu.
Bahkan Media International pun bbrpx ada peliputannya.
Jadi saat itu, sadar ato nggak sadar pergerakan mahasiswa yg menentang penguasa di UKSW jadi benih dan roll model buat pergerakan2 mahasiswa di Indonesia setelahnya.
Itu sedikit cerita masa lalu brow.
Terimakaaih