/

UKSW, Kamu Kenapa: Tumpukan Masalah di UKSW

/
3408 dilihat

UKSW sedang dilanda masalah besar. Senin (5/5), 3 fakultas, yaitu FTI (Fakultas Teknologi Informasi), FH (Fakultas Hukum), dan F.Teo (Fakultas Teologi); melakukan aksi demonstrasi dengan membawa aspirasinya masing-masing. Ini merupakan aksi besar yang mengguncang ketenangan Salatiga. Aspirasinya saya lihat relevan dengan apa yang terjadi sekarang di UKSW tercinta, khususnya di bawah kepemimpinan rektor Bu Intiyas Utami. Keriuhan di media sosial luar biasa, sehingga saya terpanggil untuk ikut menanyakan kepemimpinan ini.

Bagian 1: Akses Internet

Pembahasan dimulai dari FTI, yang utamanya mengeluhkan tentang akses internet yang tidak memadai, padahal mereka adalah fakultas yang sangat memerlukannya. Ada juga masalah lainnya yang mereka keluhkan, seperti usulan kegiatan dan peningkatan fasilitas yang dicoret rektor. Saya melihat, keluhan dari FTI itu luar biasa. Wake up call yang sangat baik dari pihak FTI. Meskipun begitu, saya mau secara khusus menyoroti masalah internet.

Masalah internet sebenarnya bisa dijadikan masalah bersama sivitas akademika. Ketika saya mulai kuliah pada 2014, masalah akses internet di kampus sudah ada. Akses sinyal WiFi UKSW tidak merata, serta sinyalnya sering lemah, kecuali di malam hari. Kakak-kakak tingkat yang saya kenal pun mengeluhkan hal yang sama. Saya tidak tahu apakah di kampus Diponegoro masih terjadi WiFi UKSW yang lambat atau tidak, namun ini hanya berlaku sebagai informasi bahwa masalah akses internet adalah masalah menahun. Tidak hanya itu, masalah SIASAT juga adalah masalah menahun yang eksis sejak zaman sebelum saya kuliah, jadi estimasinya 10-15 tahun. Server yang jebol ketika diakses ribuan mahasiswa dalam satu waktu, sekalipun sudah diatur jadwalnya sedemikian rupa, membuktikan buruknya server.

Ada apa sih dengan internet, UKSW? Masalah ini eksis sudah begitu lama. Rektorat sebelumnya tidak bisa memperbaiki akses internet ini. Mengapa hanya ada solusi yang bertahan sesaat, lalu setelah itu kumat lagi? Bahkan untuk SIASAT, sudah sampai pada tahap permakluman, karena masalahnya terjadi setiap semester. Fasilitas seperti Smart TV, kelas tematik, laboratorium modern, itu hal baik; tetapi jika internetnya buruk, bagaimana alat-alat tersebut bisa berjalan dengan baik? Jika server SIASAT buruk, mahasiswa kesulitan mendaftar mata kuliah, dan ujungnya jadi kesulitan kuliah.

Sejak pandemi Covid, akses internet menjadi kebutuhan primer. Derap teknologi sulit dikejar jika akses pada dunia tidak dibuka lewat internet. Namun, mengapa hal ini terjadi pada mahasiswa UKSW? Bahkan, mengapa FTI, yang isinya belajar teknologi dan informatika, menjadi yang paling terdampak? Inilah ironi yang terjadi di UKSW tercinta.

Bagian 2: Pencopotan Dekan FH

Lanjut membahas aspirasi FH. FH mengalami syok ketika dekannya, Pak Umbu Rauta, dicopot secara mendadak. Koordinator aksi Rezky Passiuola, dalam berita Kompas, mengatakan bahwa SK Rektor dikeluarkan pada 30 April 2025 jam 23.00, dan langsung berlaku pada 1 Mei 2025. Mengapa begitu? Alasannya tidak jelas. Klarifikasi dari rektorat yang saya baca di Kompas.com pun tidak menjelaskan pencopotan mendadak itu. Memang seburuk apa kinerja Pak Umbu Rauta di mata rektorat, sampai harus dicopot effective immediately, dan diganti juga effective immediately?

Saya tidak kenal Pak Umbu Rauta, maupun dosen-dosen FH lainnya. Namun saya prihatin dengan pencopotan jabatan secara mendadak itu. Bukankah harusnya ada tahapan-tahapan peneguran, dengan alasan-alasan yang jelas dan terukur, serta bukan keputusan sekali waktu? Di perusahaan saja, ada SP 1-2-3. Mengapa rektorat UKSW mengambil keputusan sepihak?

Mirisnya lagi, di media sosial, beredar nukilan surat berkop “Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kealumnian”, yang belum dapat dicek kebenarannya, namun isinya serangan yang sangat personal pada Pak Umbu Rauta. Mengapa sampai memakai surat resmi untuk memberi serangan personal? Berdebat boleh, beda pendapat boleh, tapi mengapa harus serangan personal? Ini sudah melenceng jauh dari nilai kritis-prinsipil yang dianut UKSW. Surat aneh ini juga mencederai nilai dasar UKSW sebagai scientiarum, persekutuan ilmiah.

Bagian 3: Teologi dan Hubungan dengan Gereja

Sekarang kita melihat tuntutan dari F.Teo. Menurut liputan yang dimuat di Instagram Scientiarum, ada 3 tuntutan F.Teo, yaitu: penolakan terhadap penyelewengan kekuasaan, menuntut agar Rektor kembali kepada model kepemimpinan yang Satya Wacana, dan menuntut pertanggungjawaban atas ketidakadilan terhadap Pdt. Rama Tulus. Masalah Pdt. Rama Tulus dari sinode GKE (Gereja Kalimantan Evangelis) pernah dibahas di Scientiarum, yang pada intinya beliau dicopot jabatannya (Kepala Program Studi S2 Sosiologi Agama) oleh rektorat, lalu beliau mundur untuk kembali ke sinode GKE. Namun saya ingin mengambil sudut pandang lain, yang bersifat helicopter view, yaitu peran gereja pendukung.

UKSW didukung 18 sinode gereja. Memang banyak. Namun, seiring penambahan sinode anggota PGI hingga sekarang memiliki 104 anggota, ada aras-aras gereja Kristen selain PGI, ada sinode-sinode gereja yang tidak gabung manapun kecuali terdaftar di Bimas Kristen Kementerian Agama, ada sinode-sinode gereja yang tergabung dalam wadah Sinode Am, serta demografi mahasiswa UKSW non-Teologi yang belum selaras dengan perwakilan sinode gereja pendukung; maka saya rasa perlu dipertimbangkan penambahan sinode gereja pendukung.

Namun dengan kondisi 18 sinode saja, masih ada masalah. Hubungan antara sinode gereja pendukung dengan UKSW tidak sedang baik-baik saja. Sinode GKE merasa komunikasinya dengan rektorat sekarang masih tersumbat sejak peristiwa Pdt. Rama Tulus. Sementara itu, sinode GIA (Gereja Isa Almasih), sepengetahuan saya tidak / kurang terwakili sekalipun merupakan gereja pendukung. Selama menjadi mahasiswa UKSW, saya tidak pernah mengetahui ada dosen Teologi maupun non-Teologi yang berafiliasi dengan ataupun menjadi perwakilan dari GIA.

Untuk UKSW, YPTKSW, dan gereja-gereja pendukung: mari memperbaiki hubungan antar lembaga, dan tingkatkan peran sinergis antar lembaga, bagi kemajuan seluruh lembaga. Ada hal baik yang sudah dilakukan, yaitu beasiswa khusus jemaat gereja pendukung. Namun bagaimana efektivitas dan ketepatan sasaran beasiswa ini? Selain hal tersebut, UKSW juga perlu memikirkan mahasiswa yang tidak berasal dari gereja pendukung, karena mereka juga memberi warna bagi UKSW.

Bagian 4: Masalah-Masalah Lainnya

Setelah membahas aspirasi 3 fakultas di atas yang berdemo, mari kita melihat masalah-masalah lainnya dalam kepemimpinan sekarang. Sejak kepemimpinan Bu Intiyas Utami dimulai pada 30 November 2022, atau bahkan sebelumnya, isu-isu sudah banyak berhembus. Namun ada isu-isu yang menonjol ataupun viral di media sosial.

Ada isu yang termasuk kategori infrastruktur. Ada pembangunan gapura, yang disebut di media sosial sebagai ‘gapura benteng Takeshi’. Ada juga pemindahan FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) dari Jl. Kartini ke Perpustakaan Jl. Diponegoro. Ada juga kebijakan pembersihan Askarseba (Asrama Kartini 11A), serta pemindahan gedung rektorat dari GAP (Gedung Administrasi Pusat) Jl. Diponegoro ke Jl. Kartini. Apakah UKSW benar-benar memerlukan kebijakan infrastruktur yang seperti ini? Mengapa pembangunan ini terkesan terburu-buru dan dipaksakan?

Ada isu yang termasuk kategori sarana prasarana. Ada peristiwa keterlambatan / ketiadaan KTM (kartu tanda mahasiswa) fisik, padahal KTM merupakan identitas penting sebagai mahasiswa. Ada peristiwa keterlambatan jas almamater, serta kualitas bahan jas almamater yang kurang baik. Mengapa dua hal esensial ini kurang diurus oleh rektorat, sementara kebijakan infrastruktur jalan terus? Bagaimana rasionalitas kebijakan-kebijakan ini?

Selanjutnya, ada tiga isu yang termasuk kategori tata kelola kampus. Isu pertama adalah wisuda bukan di akhir pekan. Memang sih jadwal wisudanya bertambah dari 3 jadi 4 kali, namun mengapa harus Kamis, bukan Sabtu seperti era rektorat sebelumnya? Isu kedua yaitu, pada musim Pemilu 2024 lalu, ada seorang wakil rektor di UKSW yang juga sibuk menjadi caleg DPR RI di provinsi NTT. Buktinya masih ada di sini. Apakah dengan begitu, sang wakil rektor tetap bisa menjalankan tugasnya di kampus sepenuh waktu? Mengapa dosen UKSW yang memegang jabatan, bahkan wakil rektor, sempat-sempatnya berpolitik praktis?

Isu tata kelola yang ketiga adalah slogan SATU HATI. Apakah slogan SATU HATI yang digaungkan terus-menerus oleh Bu Intiyas memiliki tolok ukur yang jelas? Ataukah slogan SATU HATI hanya kedok indoktrinasi? Tentu jadi masalah jika ternyata ada indoktrinasi yang justru melunturkan identitas UKSW itu sendiri. Menurut lagu Cry for the Moon dari band Epica: Indoctrinated minds, so very often contain sick thoughts, and commit most of the evil they preach against. Pikiran yang mengalami indoktrinasi bisa begitu berbahaya, dan kita tentu khawatir bahwa ada tanda-tanda ke arah sana. Slogan creative minority mulai tergeser lho.

Epilog

Tiga fakultas sudah menyuarakan aspirasi, tak hanya mahasiswanya, tapi juga dosennya. Sangat mungkin fakultas lain juga ingin bersuara, namun perlu mengumpulkan keberanian dan menghitung risiko. Demo jarang sekali terjadi di UKSW, namun kalau sudah terjadi demo, berarti memang masalahnya besar dan menumpuk, dibarengi saluran aspirasi yang mampet, sehingga terjadilah “eternal silence cries out for justice” (kutipan dari lagu Cry for the Moon). Sivitas akademika yang sudah lama diam, sampai harus menjerit demi meminta keadilan.

Identitas Indonesia Mini dan creative minority melekat pada UKSW. Berdasarkan kesejarahannya hingga sekarang, UKSW juga menjadi kawah candradimuka bagi para guru (teachers’ college). UKSW juga mencanangkan diri menjadi universitas riset (research university) dan universitas kelas dunia (world class university). Nilai-nilai yang diletakkan oleh rektor pertama Pak Notohamidjojo sangat luar biasa jika benar-benar dihayati. Namun, apakah identitas UKSW ini masih bertahan? Atau malah mulai luntur?

Waktu saya kuliah dulu, para dosen UKSW mengajarkan cara berpikir kritis dan kreatif, serta bisa ditanya-tanya mengenai transparansi nilai mahasiswa. Apakah sekarang, berpikir kritis dan kreatif masih diajarkan dan dilakukan? Apakah transparansi nilai masih menjadi hal umum di UKSW? Pada 2022, saya menulis di Scientiarum tentang harapan saya, supaya proses transisi dari rektor Pak Neil Semuel Rupidara ke Bu Intiyas Utami berjalan transparan. Namun, 3 tahun berlalu, apakah UKSW sudah transparan? Minimal transparan kepada sivitas akademikanya.

Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan rangkaian kalimat orisinal, tidak mengutip lagu lagi.

Rektor bukan segalanya. Citra bukan segalanya. UKSW tanpa berpikir kritis dan kreatif, bukanlah UKSW. Seluruh keluhan dan pertanyaan di atas, terangkum menjadi: Ada apa denganmu, UKSW? Kami, alumni, berharap UKSW bisa pulih dari titik ini, kembali pada model kepemimpinan yang Satya Wacana.


Stephen Kevin Giovanni, alumni FSM (Fakultas Sains dan Matematika) serta alumni LPM Scientiarum.

Penulis (kontributor): Stephen Kevin Giovanni
Editor: Nicola Ananda
Fotografer: Amazia Katherinika

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Quo Vadis Satya Wacana? Sebuah Refleksi tentang Krisis Kepemimpinan di Rahim UKSW

Next Story

Katanya Asri Tapi Bikin Hati-Hati: Kondisi Jalan Menuju FTI

0 $0.00