/

Digeser Tanpa Suara: Relokasi FBS dan Krisis Transparansi Universitas

/
803 dilihat

Gedung tempat mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) belajar kini ditempati oleh fakultas lain. Tanpa diskusi, keputusan sepihak menetapkan bahwa FBS harus pindah ke Perpustakaan Lantai 7 dengan alasan renovasi. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan: apa begini cara universitas menyampaikan sebuah keputusan? Secara terburu-buru dan satu arah? Apakah mahasiswa dan dosen hanya menjadi penonton dalam keputusan yang berdampak langsung pada mereka? Keputusan ini bukan sekedar relokasi, tetapi tentang transparansi dan keterlibatan civitas akademika dalam kebijakan kampus.

Kebijakan dan kontroversinya
Relokasi Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) ke Perpustakaan Lantai 7 dilakukan tanpa transparansi yang jelas, menimbulkan pertanyaan di kalangan mahasiswa dan dosen. Keberatan muncul setelah diketahui bahwa gedung lama FBS tetap digunakan oleh fakultas lain, memicu kebingungan terkait alasan pemindahan. Selain menimbulkan ketidakjelasan, perpindahan ini berdampak pada aksesibilitas dan kenyamanan mahasiswa dalam menjalani perkuliahan.

Jesicca, salah satu mahasiswa FBS, mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap relokasi yang terjadi. “Kalau proyek lain bisa cepat selesai, kenapa FBS harus menunggu lama? Giliran Benteng Takeshi, oke gas, oke gas, proyek kilat dua semester beres. Lah, FBS? Tukang bangunan aja gak ada,” ujarnya. 

Ia juga mengungkapkan rasa tidak nyamannya. “Aku capek harus berjalan jauh ke kampus Diponegoro, karena kosku kan dekat dengan kampus Kartini.” Hal serupa disampaikan oleh mahasiswa FBS berinisial EC, yang mengeluh keputusan perpindahan ini. “Sebelum masuk kuliah kan udah ngerencanain kos di Kartini karna deket sama Gedung FBS. Biar hemat waktu dan uang gitu. Eh malah dipindah gedungnya, tanpa ada pemberitahuan resmi lagi ke mahasiswa,” ujarnya. 

Seorang mahasiswa FBS yang tidak ingin disebut namanya, berbagi pengalaman saat pertama kali kelasnya dipindahkan ke perpustakaan. “Saya sempat salah masuk kelas pas (mata kuliah) TINFL dan malah ke FBS di Kartini. Saya kaget karena kelasnya masih dipakai dan saya gak kenal orangnya,” ujarnya. Mahasiswa lain, berinisial NC, mengeluh kesulitan selama berkuliah di kampus Diponegoro. 

NC selalu kesulitan mendapatkan parkiran karena selalu penuh. NC juga mengeluh tentang parkiran Cungkup yang sudah tutup pukul 18.00, sedangkan beberapa kelas yang dia ambil di semester ini selesai pada pukul 19.00. Berbeda dengan gedung FBS yang parkiran nya tersedia sampai malam. Selain itu, NC juga merasa perpindahan dilakukan secara tergesa-gesa. “Dipindah dengan alasan renovasi, tapi rasanya seperti diusir dari lingkungan yang sudah biasa. Sekarang harus menyesuaikan diri di lantai 7 (Perpustakaan).”

Masalah fasilitas juga menjadi perhatian. Imam, salah satu mahasiswa, menyebutkan bahwa ruang kelas di PU706 terasa sempit. Selain itu, toilet laki-laki lantai 7 hanya memiliki satu bilik dan satu wastafel, serta tidak adanya fasilitas seperti tempat wudhu untuk mahasiswa Muslim. Keluhan serupa disampaikan oleh seorang dosen yang tidak ingin disebut namanya, mengatakan, “Saya tidak nyaman dengan kantor saya karena bau cat yang menyengat, membuat saya tidak betah disana.”

Dosen yang sama juga menyoroti kurangnya fasilitas pendukung dalam proses belajar mengajar. “Di kelas ini (PU703) tidak ada papan tulis, ya saya kesulitan menjelaskan konsep kepada mahasiswa. Disini juga gak ada meja, membuat mahasiswa kesulitan menulis dan membuka laptop.” Bahkan, salah satu pegawai Tata Usaha (TU) turut merasakan dampaknya. “Saya harus ke lantai 4 hanya untuk ke toilet. Toilet di lantai 5 (kantor dosen dan TU) sering bermasalah,” ujarnya.

Ketidakadilan dalam pengambilan keputusan
Pihak rektorat belum memberikan kepastian terkait kembalinya Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) ke gedung lama, meskipun protes dari mahasiswa dan dosen terus berlanjut. Awalnya dipindahkan dengan alasan renovasi, gedung tersebut kini digunakan oleh fakultas lain, menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi keputusan ini.

Berbagai upaya, seperti kuesioner penolakan dan diskusi dengan pimpinan universitas, telah dilakukan, tetapi belum menghasilkan kejelasan. Mahasiswa dan dosen tidak dilibatkan dalam keputusan yang berdampak langsung pada mereka, menunjukkan kurangnya keterbukaan dalam kebijakan kampus.

Mengapa masalah ini penting?
Relokasi FBS memicu ketidakpuasan mahasiswa dan dosen karena dilakukan tanpa keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan. Kebijakan ini ditetapkan secara tidak transparan dan berdampak pada kualitas pembelajaran, aksesibilitas, serta ketidakjelasan masa depan ruang akademik. 

Melihat masalah ini, mahasiswa dan dosen dapat meminta pertemuan resmi dengan pimpinan universitas terkait transparansi dari pengambilan keputusan ini. Mahasiswa ataupun Lembaga Kemahasiswaan Fakultas  (LKF) perlu menggalang dukungan melalui petisi dan menyampaikan tuntutan secara terbuka kepada pihak universitas. Publikasi di media juga diperlukan untuk membentuk sebuah aksi kolektif dan juga untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa fakultas lain terdahap masalah ini. 

Relokasi FBS bukan hanya tentang perpindahan ruang, tetapi tentang bagaimana kebijakan kampus dibuat dan siapa yang berkepentingan di dalamnya. Jika saat ini FBS dipindahkan tanpa suara, fakultas mana lagi yang akan mengalami hal serupa di masa depan? Saatnya mahasiswa dan dosen bersatu untuk menuntut kejelasan dan keadilan dalam pengelolaan ruang akademik. Jika suara ini terus diabaikan, apakah kita benar-benar hidup dalam lingkungan akademik yang demokratis?

Penulis: Elizabeth Habeahan (kontributor)
Editor: Nicola Ananda
Foto: Dok. Universitas Kristen Satya Wacana

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Jalan Depan FKIP UKSW Masih Banjir Meski Drainase Diperbaiki, Apa yang Salah?

Next Story

Mahasiswa UKSW Gelar Diskusi Publik: Peran Mahasiswa dalam Kondisi Negara

0 $0.00