Rektor beserta jajarannya hadir dalam Forum Terbuka di BU UKSW, Rabu (4/6) | Dok. Scientiarum
/

Kampus dalam Kekuasaan: Ketika UKSW Diperintah dari Balik Tirai

/
11352 dilihat

SCIENTIARUM – Sebuah surat keputusan diam-diam mengguncang Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) pada 1 Mei 2025. Di tengah libur nasional, tanpa peringatan dan tanpa alasan yang jelas, dekan Prof. Umbu Rauta dan jajaran struktural FH dicopot dari jabatannya. Dua belas jam sebelumnya, mereka masih rapat program Talenta Unggul. Malamnya, mereka kehilangan jabatan. Keesokan paginya, surat dari dekan baru menyebut: “pergantian ini adalah hal biasa.”

Padahal tidak ada yang biasa dalam pergantian mendadak tanpa komunikasi. Tidak ada yang biasa saat pejabat baru yang ditunjuk justru tak hadir mengajar dan hanya mengisi kelas secara daring. Bahkan, rapat pertama yang digelar oleh pejabat baru dilakukan ketika para pejabat lama masih sibuk membereskan ruang kerja mereka.

Mantan Wakil Dekan FH , Indirani Wauran, menyebut SK diterima secara mendadak, bahkan pejabat baru telah menyurati civitas hanya beberapa jam setelah pelantikannya. “Kami tidak diberi ruang dialog. Dua belas jam sebelumnya kami masih rapat dan bercanda, lalu semua berubah.”

Dalam surat edaran yang dikeluarkan dekan baru pada 2 Mei, tertulis: “Pergantian Pejabat di lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana, termasuk Fakultas Hukum, adalah mekanisme organisasional yang biasa dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi.” Indi mempertanyakan narasi itu. “Apakah ini sesuatu yang biasa? Kami masih rapat, tidak ada pemberitahuan, lalu SK keluar di malam hari saat libur nasional,” ujarnya dalam forum 4 Juni. 

Lebih dari sekadar rotasi jabatan, menurut Indi, ini adalah pengabaian terhadap prinsip dasar Satya Wacana: dialog, transparansi, dan penghargaan terhadap otonomi fakultas. “Kami melaksanakan permintaan rektorat, menggalang program Talenta Unggul. Tapi justru kami dituding tidak satu hati.”

Ini awal dari demonstrasi mahasiswa, aksi long march, protes terbuka, dan pada akhirnya: mosi tidak percaya terhadap rektor UKSW.

“Kami Bukan Anak Kecil yang Butuh Permen”

Protes meledak dari berbagai fakultas. “Fakultas Tanpa Internet” menjadi ‘julukan’ yang diterima Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi (FTI) dari berbagai komentar di media sosial, menjadi ironi dari institusi berbasis teknologi. Aristo, mahasiswa FTI, mengatakan bahwa komputer terakhir dibeli pada 2017, kecepatan internet tak layak, dan jalan ke kampus licin hingga membuat mahasiswa terjatuh.

“Kami bukan anak kecil yang kalau nangis dikasih permen,” ujarnya. “Harus demo dulu, masuk rumah sakit dulu, baru diperhatikan?”

Evangs Mailoa, Koordinator Bidang Kemahasiswaan FTI menambahkan, mahasiswa FTI sudah tiga kali mengajukan keluhan sejak 2022, tapi tidak pernah digubris. “Proposal kami ditolak berulang kali, dana miliaran tidak digunakan,” katanya. Ia juga menolak menandatangani pakta integritas. “Satu Hati (komitmen kerja pimpinan universitas -red) itu bukan Satya Wacana, itu Honda,” sindirnya. Ia menyebut komunikasi rektorat selama ini sebagai bentuk arogansi. “WA tidak dibalas, kecuali ditelepon. Haruskah komunikasi hanya satu arah?”

Di lain sisi, Fakultas Interdisiplin (FID) mengeluhkan Pelaksana Tugas (PLT) dekan yang tak kunjung diganti sejak Januari lalu. Mahasiswa FID menyebut fakultas mereka kehilangan kejelasan arah program, dan ketua program studi (kaprodi) S-3 dijabat pensiunan yang tak memiliki legitimasi. Mahasiswa juga mengkritik alokasi ruang kelas yang minim untuk program pascasarjana dan jurnal yang sulit diakses. 

“Apakah dengan sistem yang seperti ini, UKSW bisa berkelanjutan?” tanya DIka, mahasiswa FID. “Kalau begini terus, kami yakin tidak,” lanjutnya.

Sementara itu, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) mengkritisi pakta integritas, laboratorium rusak, dan pembangunan yang dijanjikan sejak 2015 tetapi tidak kunjung terealisasi. Wahyudi, dosen FKIP, menyampaikan keresahan delapan prodi yang merasa komunikasi dibatasi dan kampus makin penuh ketakutan. Ia juga menyebut kasus dosen tetap yang batal diangkat meski telah memenuhi syarat, dan tersendatnya jalur karir akademik. 

Selain itu, Perwakilan mahasiswa dari tiap fakultas juga angkat bicara soal problematika yang dialami aras fakultas, seperti halnya Yoga, mahasiswa Fakultas Pertanian dan Bisnis (FPB) yang menyampaikan keluhan terkait kondisi laboratorium yang bocor dan tidak steril, mengancam riset dan keselamatan mahasiswa. Ia juga menekankan perlunya laboratorium terpusat yang layak dan dukungan konkret terhadap program agromat dan kewirausahaan.

Sementara Agung, mahasiswa Fakultas Psikologi menyebut, laboratorium praktek seperti warnet, kantor Lembaga Kemahasiswaan Fakultas (LKF) mereka yang sempit, dan printer yang usianya lebih tua dari sebagian besar mahasiswa.

Rini Darmastuti, mantan ketua program studi Public Relation (PR), mengaku pencopotannya dilakukan tanpa prosedur yang jelas. “Waktu itu Pak Ferdy—Prof. Ferdy Semuel Rondonuwu—telepon saya. Saya baru selesai ngajar. Mbak Nova—Novasari Linda Jeany—yang menyampaikan bahwa saya diminta turun. Setelah itu saya tidak pernah diajak bertemu pimpinan, hanya dekan yang bilang: rektor minta Bu Rini untuk turun,” katanya.

Ia mempertanyakan alasan pencopotan yang disebut karena petisi mahasiswa. “Mahasiswa bilang mereka disodori form kosong, tidak tahu itu untuk apa. Bahkan menyebut ada dosen-dosen tertentu yang mengatur. Kalau Bapak/Ibu minta bukti, saya punya percakapan mahasiswa itu,” ujarnya.

Lanjutnya, yang membuatnya heran, data dan karya ilmiahnya masih digunakan saat perpanjangan akreditasi, sementara ia telah dipindahkan dari prodi. “Kalau saya tidak mumpuni, kenapa akreditasi sebelumnya bisa A dan setahun kemudian jadi Unggul?” katanya.

Ia juga menyoroti pernyataan rektor yang sampai ke telinga kampus asalnya. “Katanya, kalau saya tidak diturunkan, 300 mahasiswa PR akan demo. Padahal mahasiswa PR saat itu cuma 169, yang bohong siapa?” tutupnya.  

Pakta Integritas dan “Satu Hati”: Sebuah Rezim Baru

Puncak amarah menyasar dua simbol kekuasaan baru di UKSW: Pakta Integritas dan jargon “Satu Hati”. Banyak yang menilai ini sebagai ideologisasi struktural yang menekan kebebasan berpikir.

Slogan “Satu Hati”, akronim dari Sinergis, Patuh, Harmonis, Teladan, Integritas, diperkenalkan oleh Rektor Intiyas Utami sebagai komitmen kolektif menuju World Class University. Namun, civitas akademika mempertanyakan muatan nilai-nilainya. “Patuh” dan “Harmonis” dinilai sebagai isyarat penyeragaman, bukan ruang dialog. 

Dalam artikel opini Scientiarum (Baca di sini: Tri Sikap Satya Wacana vs Satu Hati), slogan ini disebut “gagal dan retak di sana-sini” menjelang tiga tahun kepemimpinan rektor. Di kalangan mahasiswa, muncul sindiran dan tagar #KamiTidakSatuHati, sebagai bentuk perlawanan terhadap slogan yang dianggap mengebiri keberagaman pemikiran.

Sedangkan, Pakta Integritas yang berkaitan dengan “Satu Hati” ditandatangani oleh pejabat struktural. Isi dari pakta tersebut menyatakan komitmen untuk mewujudkan visi kepemimpinan UKSW sebagai entrepreneurship research university melalui kolaborasi percepatan pencapaian rencana strategis berbasis komitmen “Satu Hati”.

“Pakta itu membuat dosen dan tendik bekerja dalam ketakutan,” ujar Wahyudi, dosen FKIP. “Kami rindu Satya Wacana yang dulu, tempat orang bebas berbeda.”

Di sisi lain, Adela, Tendik SMA Laboratorium Satya Wacana menyatakan hal yang sama bahwa slogan Satu Hati tidak tertulis dalam statuta maupun peraturan kepegawaian. Mereka menuntut pengembalian pada filosofi lama: Creative Minority. Mereka juga mengangkat isu birokrasi yang membingungkan, mutasi sepihak dan jenjang karir yang mandek. Mereka bahkan merujuk Amsal 1:7 dan menyebut bahwa pemimpin seharusnya takut akan Tuhan, bukan menuntut kepatuhan buta.

Ketua Senat Universitas, Prof. Apriani Dorkas, menyatakan bahwa senat telah menggumuli empat hal: pencabutan slogan Satu Hati, evaluasi keputusan kontroversial, tata kelola yang transparan, dan pemulihan peran senat sebagai penjaga nilai akademik. “Kami tidak melampaui rektor, tapi menjaga kewibawaan universitas,” katanya.

Krisis Nilai, Bukan Sekadar Tata Kelola

Mahasiswa tidak hanya berbicara tentang komputer dan bangunan. Mereka bicara soal nilai-nilai dasar kampus, tentang magistrorum et scholarium, tentang iman kristiani, dan kesetaraan.

“Pencopotan dekan FH tidak menunjukkan kasih. Penggunaan kata ‘Bunda’ oleh rektor tidak mencerminkan kesetaraan akademik,” ujar Kenneth dari Fakultas Teologi.

Radja, mahasiswa FH, mengingatkan dalam ilmu hukum, keputusan yang sah secara prosedural belum tentu adil dan bermanfaat. “Kami belajar menegakkan hukum. Rasanya sakit bila ilmu itu sendiri dilanggar oleh institusi yang mengajarkannya.”

“Di Satya Wacana, tidak ada (sebutan –red) ‘adik-kakak’. Mahasiswa setara dengan dosen dan rektor,” tambah Krishna, dosen FH.

Vander, Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas (SMU) menyampaikan, “Segala kritik yang kami sampaikan bukan untuk menjatuhkan. Tapi karena kampus ini milik Tuhan, maka kami wajib bertanggung jawab kepada Kristus. Kami tidak bisa diam ketika nilai-nilai Satya Wacana dikhianati.”

Hanna Arini Parhusip, Senator senior dari Fakultas Sains dan Matematika (FSM) menyatakan, “Kami sudah mengalami  berbagai masa kepemimpinan rektor, tapi baru kali ini kami melihat perintah struktural begitu vertikal dan tak terkontrol. Ada keputusan rektor yang bertentangan dengan kewenangan senat.”

Ferry Karwur, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) yang juga anggota senat, menambahkan, “Ketika kami pertanyakan SK pengangkatan sembilan orang studi lanjut, rektor menjawab seolah-olah senat hanya pelengkap, padahal kami adalah representasi akademik.”

Rektor Menjawab, Tapi Tak Menenangkan

Rektor UKSW, Intiyas Utami, mengakui keterlambatan distribusi KTM, almamater, Wi-Fi, dan jalan rusak di FTI. Ia menyebut bahwa semua ini butuh skala prioritas karena keterbatasan dana. Ia juga menyebut bahwa dirinya hanya ingin “membalas kebaikan Tuhan” dan menjunjung prinsip “Setia pada Firman.”

Intiyas menyebut pakta integritas sebagai bentuk komitmen terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan menyebut “Satu Hati” sebagai simbol sinergi. “Saya bukan ingin mengganti nilai Satya Wacana, tapi membalas kebaikan Tuhan,” ujarnya.

Namun, semangat “Satu Hati” yang diklaim sebagai lambang sinergi justru dipersoalkan mahasiswa. Mereka merasa nilai itu hanya hidup dalam retorika, tak tampak dalam praktik. “Kenapa WA (WhatsApp) kami tidak dibalas? Kenapa surat kami diabaikan? Harus demo dulu baru diperhatikan?” tanya mereka di forum. 

Mosi Tidak Percaya: Tuntutan Mundur dan Audit Statuta

Para Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana | Dok. Scientiarum

Forum ditutup dengan pernyataan keras dari mahasiswa: mosi tidak percaya terhadap rektor UKSW, dan permintaan pencabutan SK pemberhentian FH

Indi, Eks-Wakil Dekan FH, menyerukan bahwa 21 dari 26 dosen FH meminta agar pejabat yang baru ditunjuk agar mundur. “Kami tidak bicara pribadi. Kami bicara 80 persen suara fakultas,” ujarnya.

Kritik juga diarahkan pada Statuta 2016 yang disebut sebagai biang dari segala kekacauan. “Statuta ini membuka peluang abuse of power. Kalau rektor bisa sewenang-wenang memecat, menunjuk, dan mengatur tanpa pengawasan, ini bukan universitas. Ini kerajaan,” kata Hermanto, Koordinator Presidium Alumni FH. Mereka juga meminta audit atas potensi konflik kepentingan, termasuk dugaan rektor mengupah dirinya untuk penandatanganan ijazah. 

Sementara itu, pihak Pembina Yayasan menyampaikan bahwa mereka hanya hadir untuk mendengar. “Kita semua imago Dei,” ujar salah satu pembina. “Tuhan bisa memakai siapa saja.” Namun, ketika ditanya apakah SK akan dicabut, mereka menjawab diplomatis: “Akan kami bawa ke rapat pengurus.”

Pers Dilarang Masuk: Dialog dalam Sunyi

Ironisnya, pada dialog terbuka 4 Juni 2025 yang digelar di Balairung Utama, pers mahasiswa Scientiarum dilarang masuk. Wartawan mencoba bernegosiasi, tetapi ditolak dengan alasan forum ini “di bawah pembina”.

Ketika ditanya, staf promosi UKSW menjawab: “Silakan datang bukan sebagai pers, tapi sebagai mahasiswa. Kami hanya mengikuti arahan pembina.” Artinya, wartawan tidak boleh meliput atas nama pers.

“Ini rumah kita bersama,” ujar mereka. Tapi kenyataannya, wartawan—yang juga mahasiswa, yang juga civitas akademika—ditolak masuk ke rumahnya sendiri.

Pernyataan Redaksi Scientiarum

Kami, redaksi Scientiarum, mengecam keras tindakan pelarangan terhadap jurnalis kampus dalam forum yang disebut “terbuka”. Peliputan adalah bagian tak terpisahkan dari akuntabilitas kampus, dan pembungkaman informasi adalah bentuk kekuasaan yang takut pada cahaya.

Jika Satya Wacana ingin tetap disebut kampus demokratis dan religius, maka ia harus menerima kritik sebagai berkat, bukan ancaman. Karena kebenaran hanya bisa tumbuh dalam terang, bukan dalam ketakutan. 

Reporter: Nicola Ananda, Setyo Budi, Queency Menajang, Arnol Lika, Michael Alexander Budiman, Martadina Sepania, dan Syallom Ajeng
Penulis: Nicola Ananda
Editor: Michael Alexander Budiman
Fotografer: Ardendi Herdiananta, Jonas Elroy, dan Nathania Joseph

6 Comments

  1. Rektor mungkin berpikir bahwa dengan menyebut ingin “membalas kebaikan Tuhan,” dia bisa menutupi kegagalan institusional yang nyata: keterlambatan distribusi KTM, jaket almamater, Wi-Fi yang lemot, dan jalan rusak yang membahayakan di FTI. Tapi Tuhan tak butuh dibalas dengan slogan. Tuhan tak butuh ditutupi dengan janji kosong. Tuhan menuntut tanggung jawab pada ciptaan-Nya, terutama para mahasiswa yang sudah mempercayakan masa depan mereka di Universitas ini.

    Mahasiswa tidak meminta mukjizat. Mereka minta akal sehat. Mereka minta tanggung jawab dari orang yang katanya ingin “membalas kebaikan Tuhan.” Maaf, Bu Rektor, tapi Tuhan tidak mempekerjakan Anda untuk MENYEBAR kata-kata mutiara—beliau memercayakan Anda untuk menyelesaikan MASALAH NYATA!, bukan sekadar memberikan jawaban klise yang dibungkus spiritualitas. Katanya, ingin “membalas kebaikan Tuhan” dan setia pada Firman. Mungkin Tuhan-lah yang diminta untuk MENJAHIT almamater, mencetak KTM, dan MENAMBAL jalan rusak—karena rektorat tampaknya sudah angkat tangan.

    Tentu saja, ketika mahasiswa bertanya, “Kenapa WA kami tidak dibalas?” jawabannya mungkin akan terdengar seperti ini: “Karena bukan Tuhan yang kirim pesan.” Surat menyurat juga percuma—diabaikan seperti janji-janji manis yang dulu sering diucapkan saat promosi penerimaan mahasiswa baru.

    Slogan “Satu Hati” berkibar tinggi, tapi entah hati siapa. Ketika mahasiswa bersuara, rektorat lebih memilih diam seribu alasan. Seolah-olah kritik adalah kutukan, bukan CERMIN DARI KEGAGALAN pelayanan. Lucu kan?, bicara tentang sinergi sambil mempraktikkan ghosting administratif?

    Dan mari kita bicara soal “pakta integritas”—konon katanya itu bentuk kesetiaan pada AD/ART kampus. Tapi jika integritas diukur dari RETORIKA KOSONG dan pelayanan yang memprihatinkan, maka UKSW BUKAN lagi kampus berbasis NILAI, melainkan PANGGUNG TEATER ETIKA: penuh naskah, minim aksi.

    Kami tak butuh ayat-ayat suci sebagai TAMENG birokrasi. Kami butuh pemimpin yang tahu bedanya MIMBAR dan MEJA KERJA. Kami paham satu hal: yang perlu diperbaiki bukan cuma infrastruktur—tapi KESADARAN mereka yang terlalu nyaman di kursi rektorat.

    • Pernyataan yang dibagikan melalui caption video resmi dari kanal Youtube UKSW yang menekankan “semangat persaudaraan” dan “budaya komunikasi terbuka” pada dasarnya secara retoris tampak mengayomi. Namun ironisnya, kolom komentar yang dinonaktifkan justru mengaburkan komitmen terhadap keterbukaan itu sendiri. Dalam praktiknya, hal ini menunjukkan paradoks antara narasi dan tindakan. Ketika ruang digital dikendalikan secara sepihak, pesan tentang dialog hanya menjadi slogan, bukan sikap. “Menampung aspirasi” menjadi frasa kosong jika tidak diikuti dengan tindakan nyata yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang disebut “budaya komunikasi terbuka” lebih sering berubah menjadi kontrol atas wacana, bukan ruang untuk mendengar secara tulus.

      Civitas academica datang membawa harapan, namun, mereka kembali dihadapkan pada pola komunikasi satu arah yang repetitif, di mana ruang untuk berpartisipasi terbatas dan kritik hanya dikemas dalam format formal yang steril. Tidak ada ruang untuk ketidak nyamanan yang diperlukan dalam proses perubahan. Di tengah kondisi seperti ini, forum yang digelar berpotensi menjadi alat untuk memperkuat citra institusi, bukan sebagai ruang transformatif yang memberi tempa. Narasi persaudaraan hanya menjadi sekadar topeng yang menutupi kegagalan dalam mendengarkan.

  2. Biasanya UKSW tenang, teduh, tiba tiba terjadi kegaduhan masalah jabatan struktural yang tiba tiba dicopot, mulai terjadi perseteruan, yang melelahkan dan menghabiskan energi PT Swasta ribut akhirnya yang rugi mahasiswanya

  3. Pernyataan yang paling menggelikan adalah, “Silakan datang bukan sebagai pers, tapi sebagai mahasiswa.” Apa artinya ini? Mereka berhak untuk menjadi saksi dan pelapor bagi segala sesuatu yang terjadi di kampus mereka, termasuk forum yang katanya “untuk kita semua.” Jika benar ini adalah “rumah kita bersama,” maka mengapa suara yang justru menjadi bagian dari proses pembelajaran dan perbaikan justru dilarang? Pembina tidak bisa bersembunyi di balik alasan prosedural untuk menghindari pertanggung jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul. Tidak ada tempat untuk penutupan di ruang akademik. Inilah saatnya kita bertanya: apakah pembina benar-benar melayani kepentingan bersama? Atau justru mereka lebih mementingkan menjaga status quo, menekan suara-suara yang berani bertanya dan mengkritik? Pembina kampus seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan tembok yang membatasi jika sebuah forum yang disebut sebagai dialog terbuka saja tidak bisa diakses oleh mereka yang berusaha menyalurkan suara mahasiswa, kita harus khawatir tentang masa depan transparansi di kampus ini. Jangan sampai kampus kita hanya menjadi tempat untuk memupuk rasa takut, ketakutan terhadap kebenaran.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Alumni FH UKSW Desak Pencabutan SK Pemberhentian Dekan, Prof. Umbu Tempuh Jalur Hukum Administrasi

Next Story

Penyebab Salatiga Sering Hujan Meski Sudah Memasuki Musim Kemarau

0 $0.00