Salatiga, 9 Oktober 2024 – Pada Rabu pagi yang cerah, Balairung Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menjadi saksi dari paparan visi dan misi tiga pasangan calon (paslon) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Salatiga untuk periode 2025-2029. Acara yang dihadiri oleh dosen, mahasiswa, siswa, serta perwakilan dari Badan Kerja Sama Gereja-gereja Salatiga (BKGS) ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang lebih dalam terkait rencana pembangunan Salatiga yang akan datang. Namun, lebih dari itu, kesempatan ini membuka ruang bagi analisis kritis mengenai apakah rencana-rencana tersebut cukup ambisius ataukah hanya menjawab masalah permukaan, mengingat tantangan struktural lebih dalam yang dihadapi kota ini.
Paslon 1: Robby Hermawan dan Nina Agustin – Pembangunan Infrastruktur dan Literasi: Solusi untuk Kesejahteraan?
Visi paslon pertama, Salatiga BEDA (Bergerak, Energik, Dinamis, dan Adaptif), mengusung ide besar tentang pembangunan infrastruktur, dengan fokus pada pusat olahraga dan teater, serta penguatan pusat literasi. Meskipun visi ini tampak progresif, tantangan utama adalah apakah pembangunan fisik ini akan benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara holistik. Program-program ini jelas berfokus pada upaya modernisasi, namun apakah mereka cukup peka terhadap persoalan sosial yang lebih mendasar, seperti kesenjangan sosial, pengangguran, dan ketidakadilan distribusi kesejahteraan?
Dalam sesi tanya jawab, paslon ini lebih memilih untuk merespons pertanyaan dengan pendekatan berbasis data dan perencanaan teknokratik. Meski demikian, pertanyaan besarnya adalah apakah rencana berbasis data ini dapat diimplementasikan secara efektif di tengah keterbatasan sumber daya? Pembangunan yang terlalu fokus pada infrastruktur fisik terkadang mengabaikan pentingnya penguatan aspek sosial yang juga mendesak, seperti pemenuhan kebutuhan dasar yang merata dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Paslon 2: Juan Rama dan Sri Wahyuni – Keadilan dan Pembangunan Berkelanjutan: Mampukah Kolaborasi Memenuhi Janji?
Paslon kedua, Juan Rama dan Sri Wahyuni, mengusung visi Salatiga EMAS (Elok, Maju, Adil, Sejahtera) dan Berkelanjutan, yang menggambarkan cita-cita untuk mencapai kesejahteraan secara merata dan berkelanjutan. Mereka menyoroti ketidakmerataan keadilan sebagai isu utama di Salatiga, dengan tujuan menjadikan kota ini sebagai contoh kemajuan yang inklusif. Dengan mengedepankan kolaborasi lima pilar pembangunan, yang melibatkan pemerintah, akademisi, masyarakat, swasta, dan pers, mereka mencoba menawarkan solusi yang komprehensif.
Namun, tantangannya adalah sejauh mana kolaborasi ini dapat diwujudkan dengan efektif? Apakah sektor pariwisata yang terlibat dalam pembangunan benar-benar memiliki niat untuk mengutamakan kepentingan publik ataukah lebih berfokus pada profit? Rencana mereka untuk mengatasi pengangguran dan ketidakadilan sosial melalui kolaborasi tersebut memerlukan perhatian lebih, karena dalam banyak kasus, masalah-masalah sosial tidak dapat diatasi hanya dengan menggandeng pihak swasta atau lembaga pendidikan tanpa adanya komitmen bersama yang kuat untuk mendistribusikan manfaat secara adil.
Paslon 3: Sinoeng Noegroho Rachmadi dan Budi Santoso – Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia: Apakah Program Berdampak Nyata?
Visi paslon ketiga, Sinoeng Noegroho Rachmad dan Budi Santoso, berfokus pada Salatiga sebagai kota yang adil, berkarakter, dan berdaya saing global berbasis budaya. Dalam program mereka, pengelolaan sampah menjadi prioritas utama, seiring dengan upaya mereka untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang terabaikan, termasuk tempat pembuangan akhir (TPA) yang sudah hampir habis masa pakainya. Di sisi lain, mereka juga ingin mempercepat pembangunan Taman Wisata Religi (TWR) yang memerlukan anggaran besar, bahkan lebih dari yang bisa disanggupi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Salatiga.
Sementara pengelolaan sampah dan peningkatan kesadaran lingkungan adalah isu yang sangat relevan untuk Salatiga, terutama dengan TPA yang semakin penuh. Pertanyaan besarnya adalah apakah program-program ini dapat dilaksanakan dengan anggaran yang terbatas? Proyek seperti TWR, yang membutuhkan anggaran sekitar Rp 150-200 miliar, menghadirkan tantangan besar dalam hal pendanaan dan keberlanjutan. Apakah ada perhitungan yang matang untuk memastikan bahwa proyek ini tidak mengorbankan prioritas lain yang lebih mendesak bagi kesejahteraan rakyat, seperti pendidikan atau pelayanan kesehatan?
Pemikiran Kritis: Mewujudkan Kota yang Inklusif dan Berkelanjutan
Tiga pasangan calon ini memberikan pandangan yang beragam mengenai masa depan Salatiga. Setiap pasangan menawarkan solusi yang menarik, namun dalam konteks keterbatasan anggaran dan tantangan-tantangan sosial yang ada, persoalan yang lebih dalam tidak dapat diabaikan begitu saja. Program-program pembangunan, baik itu berupa infrastruktur, pengelolaan sampah, atau kolaborasi lintas sektor, harus didukung oleh strategi yang jelas, realistis, dan terukur.
Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana setiap paslon mengutamakan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya sekadar pencapaian pembangunan fisik yang terkesan ambisius. Apakah mereka cukup sadar bahwa pembangunan sosial, seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat marginal, dan penciptaan kesempatan kerja yang adil, perlu menjadi bagian integral dari visi mereka? Terlebih, dengan latar belakang Salatiga sebagai kota pendidikan yang memiliki potensi besar, apakah paslon-paslon ini siap mendorong agenda pemberdayaan sumber daya manusia sebagai prioritas utama?
Sebagai media kampus, Scientiarum berusaha untuk memberikan refleksi kritis terhadap berbagai program yang ditawarkan, tidak hanya melaporkan hasil debat. Kami mengajak pembaca untuk merenung: apakah program-program yang dijanjikan akan mampu menjawab tantangan besar Salatiga, ataukah kita kembali terjebak dalam retorika yang hanya menyentuh permukaan tanpa adanya komitmen untuk perubahan yang nyata?
Penulis: Nicola Ananda
Editor: Michael Alexander Budiman
Fotografer: Ardendi Herdiananta
Desain: Jonas Elroy