Sang Pelindung telah kehilangan dirinya. Namanya tak lagi bermakna. Ia yang dulu dielu-elukan sebagai penjaga desa, kini justru melukai mereka yang seharusnya ia lindungi.
Semuanya bermula saat ia berdiri tegak di hadapan para Penasihat, menyampaikan niatnya untuk menaklukkan Si Raja Emas, penguasa rakus yang menduduki bukit emas. Tatapannya tajam, bahunya kokoh. Tapi dari caranya berbicara, tampak bahwa yang ia kejar bukan semata demi desa.
“Ini saatnya,” ujarnya, suara beratnya bergema di aula kebijaksanaan. “Saatnya aku mengalahkan si tamak itu.”
Para Penasihat saling pandang. Penasihat Satu, yang paling tua dan paling lambat bicara, menggeleng pelan. “Bukan saat yang tepat,” katanya. “Bukan karena kami meragukanmu, wahai Pelindung. Tapi desa butuh penjagaanmu sekarang.”
Penasihat Dua, yang selalu realistis, menimpali. “Pencuri mulai mengusik ladang dan lumbung. Hasil panen menghilang. Warga resah.”
Sang Pelindung mengangkat sebelah alis, sedikit menyeringai. “Bukankah panen mereka berlimpah? Kehilangan sedikit tak akan membuat mereka kelaparan.”
Penasihat Tiga, yang paling muda tapi paling tajam ucapannya, menyipitkan mata. Ia maju selangkah. “Setiap butir hasil kerja keras adalah hak yang harus dilindungi. Pencurian sekecil apapun adalah pengkhianatan terhadap keadilan.”
Untuk sejenak, Sang Pelindung bungkam. Matanya surut. Wajahnya seolah menyesali ucapannya sendiri. Tapi sesal itu tak bertahan lama.
“Aku paham,” kata Sang Pelindung. Lalu, suaranya meninggi, matanya menyala. “Tapi Raja Emas lebih berbahaya. Ia otak dari semua kekacauan ini. Ia dalangnya! Si dungu yang tamak itu!”
Nada bicara yang berubah itu membuat para Penasihat kembali saling memandang. Ada sesuatu yang aneh dalam semangatnya, bukan keberanian, tapi obsesi.
Penasihat Satu membuka mulut hendak berkata, namun Sang Pelindung lebih dulu membentak, “Kenapa kalian terus meragukanku? Apa kalian menyesal telah memilihku? Aku telah melindungi kalian! Bahkan siap mengorbankan diriku!”
Aula hening. Para Penasihat membisu. Mereka tahu amarah seperti itu tak muncul tanpa luka.
Sang Pelindung merasa sendiri. Ia berdiri di tengah ruangan luas, tetapi merasa terkucil. Mengapa mereka tak percaya? Mengapa mereka mempermasalahkan pencurian kecil, tapi menutup mata terhadap ancaman dari bukit emas?
“Percayalah padaku,” katanya. “Aku akan mengalahkan Raja Emas dan membawa pulang semua yang ia curi.”
Penasihat Tiga memandang dua rekannya. Keduanya mengangguk kecil. Dengan nafas berat, ia berkata, “Baiklah. Tapi satu syarat: Jangan tergoda apapun di istana Raja Emas. Ketamakan telah mencengkeram tempat itu.”
Sang Pelindung mendengus ringan. “Aku adalah seseorang yang terhormat. Hanya orang bodoh yang tergoda oleh kekayaan.”
Penasihat Tiga menatapnya tajam. “Kita semua adalah makhluk fana yang tidak sempurna, berhati-hatilah.”
Sang Pelindung tak menjawab. Ia membalikkan badan dan pergi. Langkahnya mantap, sorot matanya yakin. Tapi tak seorang pun tahu, di balik punggung itu, ada gejolak yang mulai tumbuh.
Ia pergi selama tiga hari.
Saat kembali, langkahnya lebih lambat. Tapi sosoknya lebih tinggi, seakan bumi pun tunduk di bawah sepatunya. Di kepalanya, terpasang mahkota berkilau. Bukan sembarang mahkota. Mahkota itu menyatu dengan kulitnya, seolah tumbuh dari kepalanya sendiri.
Matanya kosong. Bibirnya kaku. Tak ada sapaan, tak ada pelukan. Ia hanya berdiri di gerbang desa, memandangi orang-orang yang dulu ia lindungi, kini seakan asing baginya.
Para Penasihat muncul. Penasihat Tiga berdiri paling depan.
“Apa yang telah kau lakukan?” tanyanya.
Sang Pelindung tersenyum, senyum yang tak lagi mereka kenal. “Aku menang,” katanya.
“Tapi kau kembali tanpa hasil panen, tanpa hak masyarakat! Kau kembali hanya dengan… itu!”
Sang Pelindung mengangkat dagunya. “Ini bukan sekadar mahkota. Ini bukti bahwa aku lebih dari sekadar pelindung. Aku adalah Raja.”
Teriakan pecah. Seorang wanita tua jatuh berlutut dan menangis. “Tuhan, apakah kehidupan yang kejam ini tidak cukup? Kenapa Engkau biarkan Pelindung kami kehilangan dirinya.”
Sang Pelindung tertawa. Suaranya berat, menggelegar. “Menangislah! Menderitalah! Aku bukan lagi penjaga kalian. Aku penguasa kalian!”
Para Penasihat menunduk. Tidak karena takut, tetapi karena duka. Sosok yang mereka percayai telah sirna. Sosok yang berdiri di hadapan mereka hanyalah bayangan kosong dari seseorang yang dulu rela mati demi desanya.
Para Penasihat menatap Sang Pelindung dengan sendu, “ia telah mengabaikan kita, ia telah meninggalkan kita, ia telah mengingkari janjinya.
Berita tentang kejatuhan Pelindung tersebar ke seluruh penjuru. Dulu, ia adalah lambang harapan. Kini, ia hanya nama dalam cerita tentang seorang raja yang dikalahkan oleh ketamakan.
Dan begitulah, Sang Pelindung pun sirna. Bukan karena dibunuh, tapi karena memilih untuk kehilangan dirinya sendiri.
Ilustrasi“Ini saatnya,” ujarnya, suara beratnya bergema di aula kebijaksanaan. “Saatnya aku mengalahkan si tamak itu.”
Para Penasihat saling pandang. Penasihat Satu, yang paling tua dan paling lambat bicara, menggeleng pelan. “Bukan saat yang tepat,” katanya. “Bukan karena kami meragukanmu, wahai Pelindung. Tapi desa butuh penjagaanmu sekarang.”
Penasihat Dua, yang selalu realistis, menimpali. “Pencuri mulai mengusik ladang dan lumbung. Hasil panen menghilang. Warga resah.”
Sang Pelindung mengangkat sebelah alis, sedikit menyeringai. “Bukankah panen mereka berlimpah? Kehilangan sedikit tak akan membuat mereka kelaparan.”
Penasihat Tiga, yang paling muda tapi paling tajam ucapannya, menyipitkan mata. Ia maju selangkah. “Setiap butir hasil kerja keras adalah hak yang harus dilindungi. Pencurian sekecil apapun adalah pengkhianatan terhadap keadilan.”
Untuk sejenak, Sang Pelindung bungkam. Matanya surut. Wajahnya seolah menyesali ucapannya sendiri. Tapi sesal itu tak bertahan lama.
“Aku paham,” kata Sang Pelindung. Lalu, suaranya meninggi, matanya menyala. “Tapi Raja Emas lebih berbahaya. Ia otak dari semua kekacauan ini. Ia dalangnya! Si dungu yang tamak itu!”
Nada bicara yang berubah itu membuat para Penasihat kembali saling memandang. Ada sesuatu yang aneh dalam semangatnya, bukan keberanian, tapi obsesi.
Penasihat Satu membuka mulut hendak berkata, namun Sang Pelindung lebih dulu membentak, “Kenapa kalian terus meragukanku? Apa kalian menyesal telah memilihku? Aku telah melindungi kalian! Bahkan siap mengorbankan diriku!”
Aula hening. Para Penasihat membisu. Mereka tahu amarah seperti itu tak muncul tanpa luka.
Sang Pelindung merasa sendiri. Ia berdiri di tengah ruangan luas, tetapi merasa terkucil. Mengapa mereka tak percaya? Mengapa mereka mempermasalahkan pencurian kecil, tapi menutup mata terhadap ancaman dari bukit emas?
“Percayalah padaku,” katanya. “Aku akan mengalahkan Raja Emas dan membawa pulang semua yang ia curi.”
Penasihat Tiga memandang dua rekannya. Keduanya mengangguk kecil. Dengan nafas berat, ia berkata, “Baiklah. Tapi satu syarat: Jangan tergoda apapun di istana Raja Emas. Ketamakan telah mencengkeram tempat itu.”
Sang Pelindung mendengus ringan. “Aku adalah seseorang yang terhormat. Hanya orang bodoh yang tergoda oleh kekayaan.”
Penasihat Tiga menatapnya tajam. “Kita semua adalah makhluk fana yang tidak sempurna, berhati-hatilah.”
Sang Pelindung tak menjawab. Ia membalikkan badan dan pergi. Langkahnya mantap, sorot matanya yakin. Tapi tak seorang pun tahu, di balik punggung itu, ada gejolak yang mulai tumbuh.
Ia pergi selama tiga hari.
Saat kembali, langkahnya lebih lambat. Tapi sosoknya lebih tinggi, seakan bumi pun tunduk di bawah sepatunya. Di kepalanya, terpasang mahkota berkilau. Bukan sembarang mahkota. Mahkota itu menyatu dengan kulitnya, seolah tumbuh dari kepalanya sendiri.
Matanya kosong. Bibirnya kaku. Tak ada sapaan, tak ada pelukan. Ia hanya berdiri di gerbang desa, memandangi orang-orang yang dulu ia lindungi, kini seakan asing baginya.
Para Penasihat muncul. Penasihat Tiga berdiri paling depan.
“Apa yang telah kau lakukan?” tanyanya.
Sang Pelindung tersenyum, senyum yang tak lagi mereka kenal. “Aku menang,” katanya.
“Tapi kau kembali tanpa hasil panen, tanpa hak masyarakat! Kau kembali hanya dengan… itu!”
Sang Pelindung mengangkat dagunya. “Ini bukan sekadar mahkota. Ini bukti bahwa aku lebih dari sekadar pelindung. Aku adalah Raja.”
Teriakan pecah. Seorang wanita tua jatuh berlutut dan menangis. “Tuhan, apakah kehidupan yang kejam ini tidak cukup? Kenapa Engkau biarkan Pelindung kami kehilangan dirinya.”
Sang Pelindung tertawa. Suaranya berat, menggelegar. “Menangislah! Menderitalah! Aku bukan lagi penjaga kalian. Aku penguasa kalian!”
Para Penasihat menunduk. Tidak karena takut, tetapi karena duka. Sosok yang mereka percayai telah sirna. Sosok yang berdiri di hadapan mereka hanyalah bayangan kosong dari seseorang yang dulu rela mati demi desanya.
Para Penasihat menatap Sang Pelindung dengan sendu, “ia telah mengabaikan kita, ia telah meninggalkan kita, ia telah mengingkari janjinya.
Berita tentang kejatuhan Pelindung tersebar ke seluruh penjuru. Dulu, ia adalah lambang harapan. Kini, ia hanya nama dalam cerita tentang seorang raja yang dikalahkan oleh ketamakan.
Dan begitulah, Sang Pelindung pun sirna. Bukan karena dibunuh, tapi karena memilih untuk kehilangan dirinya sendiri.
Penulis: Meyla Hasna
Editor: Nicola Ananda
Ilustrasi: Nadila Laurencia Revalline