Open Forum yang diselenggarakan di Balairung Utama UKSW pada Jumat, 16 Mei 2025 | Dok. Scientiarum
/

Open Forum UKSW Masih Menyisakan Kritik, Mahasiswa Desak Forum Kedua Lebih Terbuka

/
2121 dilihat

SCIENTIARUM – Open forum yang digagas Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Prof. Dr. Intiyas Utami, telah dilaksanakan pada Jumat (16/5). Forum ini mendapat respons beragam dari mahasiswa. Berdasarkan komentar-komentar dalam live streaming Instagram @scientiarum serta berbagai postingan di media sosial, banyak yang menilai forum tersebut belum mampu menjawab secara tuntas aspirasi mahasiswa.

Forum yang mulanya dijadwalkan untuk diadakan pada pukul 13.00 WIB di Auditorium Fakultas Teknologi Informasi (FTI) diundur ke pukul 16.00 WIB di Balairung Utama (BU). Undangan pertama ditujukan khusus kepada Ketua Lembaga Kemahasiswaan Universitas (LKU), Lembaga Kemahasiswaan Fakultas (LKF), serta didampingi para dekan dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Kealumnian (BK3) masing-masing fakultas. Namun, undangan kemudian diperluas untuk seluruh mahasiswa aktif.

Ketika open forum dimulai, hanya sedikit mahasiswa yang datang. Meski rektorat kembali mengundang mahasiswa—khususnya mahasiswa FH—untuk hadir pada pukul 18.00 WIB melalui akun Instagram @uksw.rektorat, kehadiran tetap terbatas. Forum berlangsung hingga mendekati tengah malam. diikuti perwakilan dari LK Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Fakultas Sains dan Matematika (FSM), Fakultas Biologi (FB), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer (FTEK).

Dalam forum tersebut, sejumlah isu dilontarkan. Di antaranya, keresahan FBS soal pemindahan ruang ke lantai lima Perpustakaan O. Notohamidjojo, keluhan FSM mengenai laboratorium dan ruang LK yang tidak layak, serta tuntutan transparansi kebijakan kampus.

Wartawan Scientiarum juga berkesempatan untuk menanyakan tentang komunikasi rektorat yang dinilai terlalu formal dan tidak mencerminkan ruang dialog terbuka. “Apakah surat resmi dan sikap diam bisa menjawab aspirasi mahasiswa?” tanya wartawan Scientiarum. Menanggapi hal tersebut, Rektor Intiyas menyatakan bentuk komunikasi tertulis dipilih demi menjaga suasana kampus tetap kondusif. “Ibu yang sedang berjuang ini, sedang dituliskan fakta. Ini dialog terbuka kok, mau yang seterbuka apa sih?” ujarnya dalam forum. Ia juga menyebut forum ini sebagai bentuk komitmen mewujudkan “kampus hebat tanpa sekat”.

Intiyas juga menjawab berbagai pertanyaan lainnya, termasuk pemanfaatan gedung FBS oleh Fakultas Kedokteran. Ia menekankan bahwa pemindahan itu hanya bersifat sementara. “Mimpi mendirikan Fakultas Kedokteran itu sudah empat puluh tahun, jadi jangan langsung menyalahkan mereka,” katanya.

Meski forum berlangsung selama hampir tujuh setengah jam, banyak mahasiswa yang merasa open forum ini kurang representatif. Misalnya, dialog dengan mahasiswa FTI hanya melibatkan satu orang bernama Nyoman, serta pembahasan internal Fakultas Hukum dengan satu mahasiswa bernama Fredy Lolong.

Masalah internal di Fakultas Hukum (FH) mendapat sorotan publik karena dinilai ada sejumlah bukti yang tidak disampaikan secara terbuka. Dalam forum tersebut, Intiyas memaparkan kronologi lengkap kasus dengan membandingkan pernyataan dari pihak FH dan versi rektorat.

Kasus bermula dari dosen FH, R.E.S. Fobia, S.H., MIDS., yang mangkir dari tugas selama hampir satu setengah tahun. Menanggapi hal itu, Intiyas meminta Dekan FH saat itu, Prof. Dr. Umbu Rauta, untuk mengirimkan surat teguran. Namun, yang dikirim justru surat permintaan tanggapan dan klarifikasi.

“Sehingga surat teguran keras pertama dan terakhir—dari Rektor kepada Dekan FH—inilah yang dimaksudkan sebagai perintah untuk menegur Pak Res,” tegasnya. Masalah ini kemudian melebar hingga akhirnya berujung pada pencopotan beberapa pejabat struktural FH pada 1 Mei silam.

Komentar mahasiswa di kolom siaran langsung akun Instagram Scientiarum dan sejumlah unggahan media sosial menunjukkan ketidakpuasan atas jalannya forum. Banyak yang menilai forum ini bersifat simbolik dan belum menjadi ruang penyampaian aspirasi yang sejati.

Terkait wacana forum lanjutan, Intiyas menyatakan kesiapannya untuk menggelar open forum kedua.

Menolak Hadir, Tanggapan Lembaga Kemahasiswaan Universitas

Sebagian mahasiswa menilai dialog tersebut belum mencerminkan kesetaraan. Armando Nistelrooy Takuneno (Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas) dan Tri Aprivander Waruwu (Ketua SMU) dalam wawancara menegaskan bahwa penolakan terhadap forum bukan keputusan sepihak, melainkan sikap kolektif mahasiswa.

Minimnya kehadiran mahasiswa diduga disebabkan bentuk forum yang dinilai tidak inklusif. Mahasiswa menginginkan forum terbuka yang melibatkan seluruh civitas academica, termasuk tenaga kependidikan, serta pihak ketiga sebagai mediator.

“Dialog yang kami minta bukan sekadar aspirasi satu arah. Kami butuh mediator seperti Senat (Universitas) dan Yayasan (YPTKSW) agar solusi yang ditawarkan bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Aprivander.

Menurut mereka, forum yang ideal bersifat terbuka dan mengundang seluruh elemen kampus. Empat tuntutan yang sebelumnya telah disampaikan—soal arogansi dan kebijakan Rektor, tata kelola UKSW, pemenuhan hak mahasiswa, serta dialog terbuka—dinilai menyangkut kepentingan bersama, bukan hanya kelompok tertentu.

Di akhir forum, Inityas menyampaikan akan menyelenggarakan open forum kedua, meski belum disampaikan secara jelas kapan akan digelar dan siapa yang akan menjadi mediatornya. Menanggapi hal tersebut, Aprivander mengatakan bahwa pihak mahasiswa tetap berharap adanya keterlibatan pihak ketiga agar dialog berjalan seimbang dan bisa menghasilkan solusi nyata.

Open forum pada Jumat lalu mencerminkan adanya jarak komunikasi antara mahasiswa dan pengelola universitas. Mahasiswa berharap forum kedua nantinya benar-benar terbuka, partisipatif, dan melibatkan unsur Yayasan serta Senat Universitas agar permasalahan yang terjadi dapat segera diselesaikan.

Reporter: Nicola Ananda, Setyo Budi, dan Queency Menajang
Penulis: Setyo Budi dan Nicola Ananda
Editor: Michael Alexander Budiman

2 Comments

  1. Saya kira masalah itu bukan krusial untuk dibahas yg terpenting sekarang itu mari bersama staf akademika UKSW untuk konsisten meningkatkan mutu pendidikan perguruan tinggi dimasa sekarang dan yang akan datang, UKSW salah satu pts tertua di Indonesia harusnya sudah menunjukkan kualitas pendidikan tinggi terbaik bukan untuk berdebat yg tidak perlu, semua harusanu bersama jangan sampai UKSW tertinggal dengan pts lain. Ubinus dibanding dgn UKSW berdiri lama UKSW kenapa kita bisa dibawahnya????? Mari kita perbaiki bersama untuk lebih baik dalam berkompetensi diantara perguruan tinggi di Indonesia salam damai

  2. Saya bisa memahami semangat ajakan untuk fokus pada peningkatan mutu, tapi saya juga merasa perlu mengungkapkan bahwa ada emosi yang tidak boleh kita tekan begitu saja. Ketika seseorang menyampaikan kritik atau kegelisahan, bisa jadi itu bukan sekadar ingin “berdebat yang tidak perlu,” namun—rasa kecewa, frustrasi, atau mungkin juga cemas akan masa depan UKSW yang kita cintai bersama. Meningkatkan mutu tidak cukup hanya dengan seruan konsistensi, tapi juga harus diawali dengan keberanian menghadapi rasa tidak nyaman—mendengar kritik, mengakui celah, dan berproses secara jujur, bahkan jika menyakitkan. Justru dari ruang-ruang itulah kualitas sejati dibangun, bukan dengan menyapu emosi di bawah karpet demi kesan harmonis.

    UKSW bisa dan harus lebih baik, tapi itu dimulai dari keberanian untuk tidak langsung defensif terhadap suara yang terdengar “mengganggu.” Justru dari sanalah komitmen kolektif lahir, bukan dari pengabaian, melainkan dari pengakuan bahwa kita semua sedang tumbuh—kadang dengan perih, tapi juga dengan harapan.

    Salam hormat dan reflektif.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Segel GAP dan Suarakan Tuntutan, Mahasiswa UKSW Kembali Gelar Aksi Demonstrasi

Next Story

Setelah Konferensi Pers LK UKSW, Dialog Terbuka dengan Yayasan dan Rektor Akan Digelar

0 $0.00