/

Protes dan Revisi: Polemik Keterlibatan TNI dalam Mata Kuliah Bela Negara UKSW

/
420 dilihat

Awal Maret 2025, pamflet digital mata kuliah Bela Negara beredar di kalangan mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Isinya mengungkap rencana kolaborasi kampus dengan TNI untuk pelatihan mahasiswa. Dua pekan kemudian, kritik bermunculan dari aktivis seperti Maria Sumarsih dan Aliansi Penggugat Mahasiswa melalui postingan di Instagram dan X, memicu gelombang penolakan. Tanggal 7 April, Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU) mengeluarkan surat terbuka menuntut penjelasan kampus. Sehari setelahnya, Wakil Rektor Bidang Pengajaran, Akademik, dan Kemahasiswaan (WR PAK) merespons dengan surat yang justru memuat daftar mitra TNI─berbeda dengan Rancangan Pembelajaran Semester (RPS) yang telah ‘mencoret’ keterlibatan militer. Bagaimana polemik ini bermula?

Pamflet Mata Kuliah Bela Negara | Dok. Scientiarum
Reaksi Sumarsih di X | Dok. Scientiarum

Sebuah video promosi mata kuliah yang awalnya dibagikan melalui sistem pembelajaran dan pengajaran daring UKSW, FLearn, juga menunjukkan demonstrasi pelatihan mahasiswa oleh anggota TNI, yang terdiri dari fun game, simulasi war game, survival & pertolongan darurat, bela diri praktis, serta anti terorisme & radikalisme.

Penyelenggaraan mata kuliah Bela Negara—salah satu bentuk kegiatan pembelajaran program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)—yang melibatkan TNI dikhawatirkan sebagai intervensi aparat dalam ranah sipil, lebih tepatnya lagi dalam kehidupan akademik. Reaksi ini muncul di tengah situasi politik nasional yang memanas pasca-pengesahan RUU TNI.

Menjawab keresahan mahasiswa dan publik terkait mata kuliah Bela Negara, Lembaga Kemahasiswaan Universitas (LKU) UKSW akhirnya mengadakan serangkaian aksi yang menuntut pihak kampus untuk memberikan penjelasan dan membatalkan rencana kerja sama dengan TNI.

Pada 7 April, BPMU melayangkan surat terbuka kepada WR PAK, Prof. Dr. Ferdy. S. Rondonuwu, S.Pd., M.Sc. Surat tersebut berisi 3 poin tuntutan terkait penolakan potensi militerisasi di Satya Wacana:
1. Menolak keterlibatan eksklusif institusi militer (TNI) dalam mata kuliah Bela Negara.
2. Mempertanyakan relevansi mata kuliah Bela Negara sebagai mata kuliah pilihan.
3. Meminta klarifikasi publik dari pimpinan universitas.

Selain melayangkan ketiga tuntutan di atas, LKU telah menggalang tanda tangan civitas academica yang menolak rencana keterlibatan TNI dan melakukan jajak pendapat melalui pemberian formulir tanggapan serta konsolidasi mahasiswa.

Spanduk gerakan ‘Satya Wacana Bergerak’ | Dok. Scientiarum

Sehari setelah surat terbuka BPMU diterbitkan, WR PAK mengeluarkan sebuah surat yang menanggapi ketiga poin tuntutan. Selain menanggapi secara spesifik tiga tuntutan BPMU, surat tersebut juga mencoba untuk menjelaskan dasar hukum penyelenggaraan mata kuliah Bela Negara.

Tim liputan Scientiarum telah melakukan investigasi seputar mata kuliah Bela Negara. Kami mewawancarai Direktur Direktorat Pembelajaran dan Pengajaran (DAR) sebagai penyelenggara utama mata kuliah Bela Negara, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) sebagai tenaga pengajar utama mata kuliah, dosen Fakultas Hukum (FH) untuk memberikan tanggapan terhadap dasar hukum yang digunakan, serta Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas (SMU) sebagai perwakilan LKU. Selain itu, kami juga telah melakukan jajak pendapat mahasiswa UKSW secara umum mengenai mata kuliah Bela Negara.

Rencana Kemitraan dengan TNI dan Respons Pihak Kampus

Dalam pamflet yang awalnya beredar, terdapat tiga instansi di bawah TNI yang tercatat sebagai mitra pelaksanaan mata kuliah Bela Negara. Ketiga instansi tersebut adalah Batalyon Infanteri 411/Pandawa, Kodim 0714/Salatiga, dan Kodim 0722/Kudus. Hal ini diakui oleh Ketua Penyelenggara Mata Kuliah, Dr. Sunardi, M.Pd., ketika diwawancarai oleh Scientiarum pada 16 April.

Namun, Dr. Sri Yulianto Joko Prasetyo, salah satu dosen pengampu mata kuliah ini menyatakan TNI sudah tidak termasuk dalam daftar mitra. “Dari semua materi hasil kajian, kami menyusun siapa yang akan mengajar di RPS. Dari sekian banyak yang kami susun, akhirnya kami coret dua, termasuk TNI,” jelas Yulianto saat diwawancarai. Ia menambahkan, “Ada satu lagi yang kami hapus, tapi saya lupa detailnya—yang pasti sisanya tetap kami pertahankan.”

Dalam RPS yang dibagikan kepada peserta mata kuliah pada 11 April, memang tidak tampak TNI dalam daftar mitra pendukung mata kuliah Bela Negara, yang tersisa adalah 12 mitra pendukung seperti 1 lembaga pemerintahan tingkat provinsi, 8 lembaga pemerintahan tingkat kota, PMI, kalangan dan industri UMKM, serta dosen UKSW. Akan tetapi, dalam Surat WR PAK Nomor 001/WR-PAK/04/2025 yang dikeluarkan pada 8 April, tercantum daftar mitra terdiri dari 14 pihak, diantaranya ‘Perwakilan TNI’ dan ‘Perwakilan Kepolisian Resort Kota Salatiga’.

Daftar Mitra Pendukung dalam RPS Mata Kuliah Bela Negara | Dok. Scientiarum
Daftar Mitra Pendukung Mata Kuliah Bela Negara dalam Surat WR PAK | Dok. Scientiarum

Ketika Scientiarum menanyakan hal tersebut kepada Direktur DAR, Yustinus Calvin Gai Mali, S.Pd., M.Hum., Ph.D., ia menegaskan bahwa RPS sajalah yang menjadi acuan pelaksanaan mata kuliah Bela Negara. “Jadi, terkait dengan kegiatan pembelajaran dan pengajaran, saya kira kita perlu berpegang pada RPS,” ujarnya.

Pernyataan serupa juga diberikan oleh Sunardi dan Yulianto. Keduanya mengaku, TNI dicoret dari daftar mitra setelah melihat perkembangan UU TNI. “Nah, kami mengubah dengan melihat perkembangan UU TNI, kami mengubah semuanya, mulai dari stakeholder, format, dan narasumber, semuanya diubah,” kata Yulianto.

Pada 27 April 2025, wartawan Scientiarum menemukan spanduk ‘Satya Wacana Bergerak’ yang terpasang sejak 10 April di depan kantor LKU telah dicopot. Menanggapi hal ini, Ketua Umum SMU, Tri Aprivander Waruwu melalui pesan WhatsApp pada 28 April mengonfirmasi: “LKU sendiri yang mencopot karena kampus sedang merevisi RPS.” Ia menambahkan, “Kami juga meminta revisi referensi bacaan di RPS. Prinsipnya, tidak boleh ada keterlibatan militer dalam mata kuliah ini.”

Polemik Mata Kuliah Bela Negara dalam Perspektif Visi Misi UKSW

Melalui surat tanggapan terhadap tuntutan dari BPMU, WR PAK menjabarkan dasar hukum yang digunakan untuk menyelenggarakan mata kuliah Bela Negara. Isi surat tersebut dan dasar hukum yang digunakan dapat dilihat melalui tautan ini.

Scientiarum mewawancarai salah satu dosen FH, Dr. Krishna Djaya Darumurti, S.H., M.H., untuk dimintai pendapatnya mengenai dasar hukum mata kuliah Bela Negara. Krishna menilai respons pimpinan universitas tentang mata kuliah Bela Negara terlalu normatif. “Tanggapan dalam surat itu hanya berpegang pada bunyi UU tanpa analisis kritis,” katanya saat diwawancarai Scientiarum, Rabu (16/04).

Krishna menjelaskan, UKSW seharusnya mengaktifkan ‘fungsi radar’ sebagaimana tercantum dalam visi UKSW. “Radar berarti kepekaan membaca situasi politik dan budaya, lalu meresponsnya dengan analisis tajam,” tegasnya. Menurutnya, keterlibatan TNI dalam kurikulum justru menunjukkan kegagalan fungsi tersebut.

Krishan kemudian memaparkan kaitan fungsi radar dengan rencana keterlibatan TNI. “Anasir militerisme tidak bisa masuk ke kampus, apalagi dunia akademik. Inilah fungsi radar—ia harus memberi sinyal ‘tidak boleh ada militerisme di kampus’,” tegasnya. Ia menambahkan, “Di tingkat nasional pun, bangsa kita sebenarnya menolak habis-habisan praktik militerisme.”

Aksi protes KontraS menentang revisi UU TNI di Hotel Fairmont Jakarta | Dok. @KontraSupdates

Fungsi radar yang diangkat oleh Krishna merupakan salah satu bagian dari visi misi UKSW. Dilansir dari laman uksw.edu, Visi UKSW nomor 4 berbunyi “Menjadi radar dalam situasi perubahan kebudayaan dan politik, mensinyalir, mencatat perubahan-perubahan itu.

Menurut Krishna, penerapan legalitas mata kuliah Bela Negara membutuhkan pertimbangan matang. “Tidak bisa sekadar berpegang pada bunyi ketentuan. Legalitas harus dijalankan dengan benar—bukan sekadar memenuhi formalitas hukum, tapi dengan pertimbangan mendalam. Dalam kasus ini, UKSW harus menggunakan fungsi radarnya,” tegasnya.

Pandangan senada disampaikan Aprivander, saat diwawancarai Scientiarum pada Senin (14/04). Ketua Umum SMU itu menekankan peran kritis mahasiswa dalam mengawasi kekuasaan. “Kita harus menjadi mitra kritis pemerintah. Setiap kebijakan dan program kerja mereka harus benar-benar berpihak pada rakyat dan mahasiswa memiliki fungsi pengawasan yang vital dalam hal ini,” tegasnya.

Bagaimana Pendapat Mahasiswa UKSW Secara Umum?

Dari 15 hingga 22 April 2025, Scientiarum menyebarkan kuesioner Google Forms yang bertujuan untuk mengetahui pandangan mahasiswa UKSW dari seluruh fakultas mengenai pandangan terhadap mata kuliah Bela Negara dan rencana keterlibatan TNI di dalamnya. Terdapat tujuh pertanyaan, dengan rincian enam pertanyaan berbentuk pilihan dan satu pertanyaan dalam bentuk esai.

Forms response chart. Question title: Apakah Anda sudah mengetahui tentang mata kuliah Bela Negara?. Number of responses: 169 responses.
Diagram 1 | Dok. SA/Pusat Data dan Analisis

Dari hasil kuesioner pada pertanyaan pertama, ditemukan bahwa sebanyak 87% responden telah mengetahui adanya mata kuliah Bela Negara, yang menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan respons mahasiswa terhadap keberadaan mata kuliah ini cukup tinggi. Namun, masih terdapat 13% responden yang belum mengetahui diadakannya mata kuliah ini.

Forms response chart. Question title: Apakah Anda setuju diadakannya mata kuliah Bela Negara?. Number of responses: 169 responses.
Diagram 2 | Dok. SA/Pusat Data dan Analisis

Jawaban responden pada pertanyaan kedua menunjukkan sebanyak 69,8% responden tidak setuju dengan diadakannya mata kuliah Bela Negara, sementara 30,2 % responden setuju. Hasil ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap mata kuliah tersebut cukup dominan di kalangan mahasiswa. Sikap ini kemungkinan disebabkan oleh pandangan kritis mahasiswa terhadap mata kuliah tersebut.

Forms response chart. Question title: Apakah Anda sebelumnya pernah mengikuti mata kuliah Bela Negara? . Number of responses: 169 responses.
Diagram 3 | Dok. SA/Pusat Data dan Analisis

Berdasarkan hasil kuesioner pada pertanyaan ketiga, sebanyak 92,3% responden belum pernah mengikuti mata kuliah Bela Negara, sedangkan 7,7% responden sudah pernah mengikutinya. Perbedaan hasil persentase yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa mayoritas responden belum pernah mengambil mata kuliah Bela Negara.

Forms response chart. Question title: Apakah Anda sudah memiliki gambaran seperti apa aktivitas mata kuliah Bela Negara nantinya?. Number of responses: 169 responses.
Diagram 4 | Dok. SA/Pusat Data dan Analisis

Dari hasil kuesioner pada pertanyaan keempat, ditemukan bahwa 71% responden sudah memiliki gambaran mengenai aktivitas yang akan berlangsung dalam mata kuliah Bela Negara, sementara 29% responden belum memiliki gambaran yang jelas. Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa telah memiliki pemahaman awal tentang mata kuliah ini, yang kemungkinan mereka dapat dari berbagai referensi.

Forms response chart. Question title: Apakah menurut Anda, mata kuliah Bela Negara ini perlu adanya kerja sama dengan pihak militer?. Number of responses: 169 responses.
Diagram 5 | Dok. SA/Pusat Data dan Analisis

Mengacu pada hasil kuesioner pertanyaan kelima, sebanyak 74% responden berpendapat bahwa mata kuliah Bela Negara tidak perlu diadakan kerja sama dengan pihak militer, sementara 26% responden merasa kerjasama tersebut diperlukan. Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa lebih memilih pendekatan non-militer dalam penyelenggaraan mata kuliah Bela Negara. Sementara itu, 26% mahasiswa yang mendukung kerja sama dengan militer melihat adanya manfaat dalam pendekatan yang lebih disiplin.

Forms response chart. Question title: Menurut Anda, apakah mata kuliah Bela Negara relevan dengan kebutuhan pendidikan saat ini?. Number of responses: 169 responses.
Diagram 6 | Dok. SA/Pusat Data dan Analisis

Sesuai dengan hasil kuesioner pertanyaan keenam, sebanyak 75,1% responden merasa bahwa mata kuliah Bela Negara tidak relevan dengan kebutuhan pendidikan saat ini, sementara 24,9% mahasiswa berpendapat sebaliknya. Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa mempertanyakan relevansi mata kuliah ini dalam konteks pendidikan tinggi. Di sisi lain, terdapat 24,9% responden yang merasa mata kuliah ini relevan.

Pertanyaan terakhir berbentuk esai menjadi pertanyaan pamungkas yang secara keseluruhan akan merangkul pendapat keseluruhan mahasiswa mengenai mata kuliah Bela Negara ini dalam pertanyaan “Berikan tanggapan Anda terhadap keterlibatan TNI dalam mata kuliah Bela Negara!”

Analisis tanggapan mahasiswa menunjukkan dua kecenderungan utama yang kontras. Sebagian mahasiswa menilai kehadiran TNI dalam mata kuliah Bela Negara positif karena dapat menanamkan kedisiplinan dan semangat kebangsaan. Misalnya, seorang mahasiswa menyatakan bahwa “Konsep bela negara itu penting , apalagi buat generasi muda yang nantinya punya peran di masyarakat. Keterlibatan TNI bisa jadi kesempatan buat belajar langsung tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan semangat kebangsaan.” Selain itu, terdapat  pendapat menarik mengenai kolaborasi kampus dengan TNI karena ada yang menyebutkan “Disiplinnya atas waktu” dimana hal ini menggambarkan pandangan bahwa nilai-nilai kedisiplinan militer bisa menjadi pelajaran berguna. Dengan kata lain, mereka percaya TNI dapat menjadi sumber untuk bertumbuh secara pribadi.

Sebaliknya, banyak mahasiswa menolak keterlibatan TNI dengan alasan kekhawatiran “militeristik”. Beberapa tanggapan menyebutkan bahwa TNI terlalu menekankan mengenai pelatihan militer sehingga dikhawatirkan mendorong “militerisasi” kampus. Ada pula yang menilai secara akademik masih terbilang tidak cocok untuk metode militer, misalnya seorang mahasiswa berkomentar bahwa “… tentara berjaga di perbatasan, bukan di tengah-tengah mahasiswa.” Tanggapan tegas lainnya bahkan menyerukan “Pulangkan tentara kembali ke barak!” untuk mengilustrasikan penolakan keras terhadap campur tangan militer. Pandangan negatif ini umumnya menekankan bahwa semangat Bela Negara seharusnya dikembangkan lewat pendekatan sipil, bukan latihan atau kedisiplinan ala militer.

Di antara dua kutub pandangan tersebut, terdapat kelompok mahasiswa yang bersikap moderat. Mereka tidak sepenuhnya menolak mata kuliah Bela Negara, namun mengajukan beberapa catatan penting.

Beberapa mensyaratkan: “Saya setuju mata kuliah ini ada asal bersifat pilihan khusus, bukan wajib,” ujar seorang mahasiswa. Pandangan ini menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam memilih mata kuliah.

Sebagian lain melihat nilai materi tetap mempertanyakan pendekatannya:
Kontennya cukup bermanfaat, tapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan keadaan negara sekarang.” Kritik ini menyoroti kesenjangan antara materi ajar dengan konteks aktual.

Kelompok ini pada dasarnya mengusulkan evaluasi ulang. “Format dan muatan isinya perlu disesuaikan lagi,” jelas seorang responden. Mereka ingin mata kuliah ini tetap ada tetapi dengan pendekatan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai kampus. 

Perbedaan di atas memperlihatkan spektrum pendapat, ada yang melihat manfaat TNI dan ada yang khawatir pelajaran jadi sekadar latihan militer, serta ada pula yang mencoba mencari jalan tengah.

Fungsi Radar, Gerakan Mahasiswa, dan Demokrasi

Perdebatan seputar mata kuliah Bela Negara dan rencana keterlibatan TNI di dalamnya sebenarnya merupakan pelajaran yang berharga bagi seluruh civitas academica UKSW, sekaligus memperlihatkan kuatnya semangat demokrasi di UKSW.

Rencana pelibatan TNI dalam mata kuliah Bela Negara di UKSW menjadi pelajaran berharga bagi kampus. Di tengah situasi sosial-politik nasional yang sensitif, kebijakan semacam ini seharusnya melalui pertimbangan matang.

Direktur DAR sempat merasionalisasi mata kuliah ini sebagai bagian program MBKM untuk memenuhi Indikator Kinerja Utama (IKU) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI). Namun, Bela Negara bukan satu-satunya pilihan kegiatan MBKM. Kalaupun dijalankan, keterlibatan aparat militer sebenarnya bisa dihindari sejak perencanaan. 

Protes mahasiswa UKSW terhadap rencana ini menunjukkan tingginya kepedulian mereka terhadap kualitas pendidikan dan nilai demokrasi. Respons kampus yang akhirnya merevisi kebijakan juga membuktikan ruang demokrasi di UKSW masih terbuka. 

Di tengah ancaman kemunduran demokrasi nasional, praktik demokrasi di lingkungan UKSW perlu terus dijaga. Mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pimpinan universitas—semua memiliki peran merawat ruang dialog ini.

Reporter: Nicola Ananda, Fakhrul B. Mardiko, Queency C. R. Menajang, Arnol Lika, Setyo Budi Nugroho, Jonas Elroy Aditama, dan Ardendi Herdiananta
Analis Data: Amazia Katherinika dan Martadina S. Sihombing
Penulis: Michael Alexander Budiman
Editor: Nicola Ananda
Desain: Jonas Elroy Aditama

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

May Iustitia Day: Mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Protes Pemberhentian Pejabat Fakultas

Next Story

Pencopotan Dekan Fakultas Hukum UKSW Dinilai Sepihak dan Tanpa Dialog

0 $0.00