“Efektif atau tidak, kita sudah berupaya untuk efektif. Dari saya ya, memang tidak efektif untuk 9 hari, jelas. Alasannya karena ada hal-hal yang tidak terduga terjadi dan mekanisme manajemen kita di internal juga yang belum cukup baik.”
Meldiana Miryam Wawoh selaku Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas (SMU) periode 2023
Selang berbulan-bulan setelah rapat panjang Lembaga Kemahasiswaan (LK) dilaksanakan, tetapi forum koordinasi yang memakan waktu 9 hari itu masih menyisakan tanda tanya besar tentang “mengapa memakan waktu selama itu?” Program-program kerja yang tengah berjalan di kampus saat ini, membawa kembali pada momen alot pengesahan kala itu.
Rapat koordinasi atau lebih familiar disebut sebagai rakoor, merupakan forum untuk mengkoordinasikan struktur program kerja dan anggaran LK (Lembaga Kemahasiswaan) yang akan dijalankan selama satu periode. Selaras dengan salah satu tugas dan wewenang Senat Mahasiswa Universitas (SMU), yaitu mengkoordinasikan struktur program dan anggaran LK dalam rapat koordinasi LK, merujuk dari Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa (KUKM) UKSW pasal 40 (ayat) 4.
Rakoor tahun 2023 telah berlangsung pada tanggal 15 s/d 20 dan 24 s/d 26 bulan Maret lalu. Bertempat di Wisma Bukit Soka Salatiga, masing-masing LK di aras fakultas dan universitas silih berganti memaparkan rancangan program kerja mereka untuk dikoordinasikan, baik dengan LKU maupun dengan LKF lain yang menjadi peserta rapat. Jika ditotal, rakoor periode tahun ini memakan waktu hampir sepuluh hari. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang direncanakan oleh SMU terkait waktu pelaksanaan rakoor. Ketua Umum SMU periode 2023 Meldiana Miryam Wawoh, menjelaskan bahwa SMU sendiri telah menilai bahwa rakoor kali ini terhitung efektif jika dilaksanakan selama 5 hari. Pelaksanaan rakoor hingga 9 hari ini menurut Meldi merupakan hal yang di luar dugaan.
“Mau dia efektif atau tidak kembali lagi masa periode (SMU –red) itu, dia mau menentukan rapatnya itu dalam jadwal mau seperti apa, dalam artian tiap periode itu beda-beda, kalau dari periode aku, kemarin kita sudah patok 5 hari. Dari situ kita hitungnya efektif, nah 9 hari itu karena memang dinamika di dalam,” jelas Meldi.
Berbeda dengan pelaksanaan rakoor selama 3 tahun ke belakang, yang dilaksanakan pada pagi hari. Meldi mengusulkan rakoor di periode tahun ini dimulai pada sore hari, guna mengantisipasi peserta rapat yang berhalangan hadir karena bertabrakan dengan jadwal kuliah.
“Nah kami sebenarnya evaluasi dari situ dulu, berkoordinasi supaya efektif karena tahun lalu dibilang pagi-pagi itu banyak yang tidak ikut rapat karena kelas, walaupun sudah ada surat izin. Sehingga periode ini kami mau coba mulai dari sore aja, seperti itu. nah karena kita ambil keputusan sore, sehingga waktunya lebih panjang dari periode-periode lalu. Yang kita jadwalkan 5 hari,” jelasnya.
Lebih lanjut, Meldi menjelaskan bahwa pelaksanaan rakoor yang harus ‘molor’ dari waktu yang telah direncanakan bukan tanpa sebab.
“Hal-hal yang menghambat itu ada dua, yang pertama dinamika di dalamnya dalam artian manajemen internalnya kemudian menyasar juga pada hal yang esensial. Dalam artian apa yang kita bahas di rapat koordinasi kita bahas antara dua itu, karena memang itu krusial,” paparnya.
Meldi menambahkan bahwa selain kedua hal tersebut, minimnya pemahaman terkait program masing-masing LKF dan miskomunikasi juga menjadi faktor penghambat dalam jalannya proses rapat.
“Jadi evaluasi bahwa ternyata pengertian orang memahami terkait program dari setiap fakultas itu masih sangat-sangat kurang, sehingga itu yang banyak memperhambat, banyak sekali miss ketika kita di rapat koordinasi yang seharusnya sudah tuntas di raker, tapi ternyata apa yang sudah dibahas di raker ada yang masih tetap terbawa sampai di rakoor,” jelas Meldi.
Tak Sesuai Target Awal
Koordinator Satuan Tugas (Satgas) Rapat Koordinasi periode 2023, Mikha Kusuma menyampaikan bahwa dirinya beserta tim telah mempersiapkan teknis pelaksanaan rakoor selama kurang lebih empat sampai 5 hari. Mulanya rakoor ditargetkan selesai dalam waktu 5 hari (Rabu s/d Minggu), menyesuaikan dengan tabel periodisasi.
Namun, kenyataan di lapangan yang justru berbeda dari apa yang diharapkan, membuat satgas harus memperpanjang waktu pelaksanaan hingga hari Senin. Hal ini pun disepakati, setelah berkonsultasi dengan Komisi B BPMU (Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas).
Mikha menjelaskan bahwa ada beberapa hambatan yang memengaruhi mundurnya jadwal pelaksanaan, baik itu hambatan yang berasal dari mekanisme persidangan hingga cuaca di Kota Salatiga.
“Mekanisme sidang, pimpinan sidang (Pimsid –red) tidak menghitung waktu, (padahal –red) sudah diberikan naskah. Pimsid seharusnya tahu dan mengerti dan paham jika ada pertanyaan yang mutar-mutar. (LK –red) Fakultas-fakultas tidak kuorum, tidak bisa melakukan pemaparan jika tidak kuorum. Hujan, memaksa mereka untuk datang juga tidak manusiawi karena hujan sederas itu. (Disediakannya –red) Google meet itupun belum bisa membantu untuk mengatasi kuorum.”
Mikha menambahkan bahwa tim satgas juga sempat mengalami beberapa kendala yang menyebabkan situasi persidangan tidak sesuai dengan yang ditargetkan.
“Kalau dari satgas, mungkin ada rundown-nya telat dikirim oleh acara (sie acara -red), tapi itupun sudah disesuaikan dengan waktunya juga, enggak mepet dengan waktunya h-1 baru kita kirim. Kendala lainnya kelas, kalau di hari minggu, ibadah. Padahal kita juga sudah menyediakan ibadah juga.”
Setali tiga uang dengan Mikha, Bryan selaku anggota Satgas pada rakoor beberapa waktu lalu mengatakan rundown yang telah dibuat bisa saja berubah-ubah, karena menyesuaikan situasi.
“Rundown itu diibaratkan dia menyesuaikan, situasional. Jadi dia bisa berubah kapanpun, tergantung fenomena yang terjadi di suatu acara,” jelas Bryan.
Dalam rundown yang dipersiapkan satgas, masing-masing fakultas diberikan waktu selama dua jam untuk pemaparan, dan sudah termasuk tiga termin tanya-jawab. Sementara untuk penanggap diberikan waktu selama 3-5 menit. Meski demikian, hal tersebut tidak berjalan sesuai rencana karena permasalahan program kerja yang dihadapi oleh masing-masing fakultas berbeda-beda, memaksa pimpinan sidang membuka termin keempat. Hal ini berdampak pada kemunduran waktu pemaparan fakultas lainnya yang sebelumnya sudah dijadwalkan.
“Fenomena fakultas. Contohnya aja ya kenapa bisa sampai 4 termin, berarti memang fakultas ini sangat bermasalah dari segi agenda kerja mereka, kegiatan, dan lain-lain, sampai ada beberapa fakultas itu pending (diundur –red) gara-gara kesalahan mereka sendiri,” tambahnya.
Menjadi Rakoor dengan Waktu Terpanjang
“Rakoor ini menjadi rakoor terpanjang, karena periode lalu hanya 5 hari saja dan dilakukan hingga jam 5 pagi bahkan 24 jam (online). Akan tetapi (rakoor –red) saat ini offline dan dilakukan hingga jam 2 dini hari, yang mungkin menjadi keterlambatan dan menimbulkan kesan ketidaktegasan dalam manajemen waktu.”
Christopher selaku Ketua SMF Fakultas Teologi
Menurutnya, manajemen waktu yang kurang baik, menyebabkan banyak terjadinya penundaan pemaparan pada saat rakoor.
“Yang seharusnya pemaparan per-fakultas itu 2-3 jam, akan tetapi bisa hingga 4-5 jam, bahkan ada yang hampir 7 jam. Dan jika waktu telah selesai dan masih terdapat pertanyaan, seharusnya dapat dibahas di belakang. Rakoor seharusnya hanya untuk pengkoordinasian, dan efisien waktu itu harus ditingkatkan, dan kesadaran bahwa kewajiban kita itu sebagai mahasiswa,” jelasnya.
Christopher berpandangan, visitasi yang dilakukan LKU pada saat raker bisa lebih dimaksimalkan, sehingga fungsi rakoor sebagai forum pengoordinasian program kerja dapat berjalan sebagaimana mestinya. Menurutnya, jika semuanya dapat dibahas tuntas ketika raker maka saat rapat koordinasi dilaksanakan, LKF tidak perlu memakan banyak waktu untuk mengkoordinasikan agenda kerja mereka kepada LKU maupun kepada LKF lainnya.
Menggarisbawahi soal ‘kemoloran’ waktu rakoor, ia mengatakan bahwa hal tersebut juga terkait dengan kurangnya kesadaran atas tanggung jawab dan manajemen waktu bagi para fungsionaris yang juga menjadi bagian dari peserta rapat.
“Kesadaran hadir dari para fungsionaris masih kurang sehingga muncul peristiwa tidak kuorum dan di-pending (undur -red), lalu ketepatan waktu yang kurang diperhatikan,” jelasnya.
Rivaldo sebagai Ketua SMF Fakultas Interdisiplin (FID) mengungkapkan kesan yang ia rasakan pasca rakoor beberapa waktu lalu.
“Rakoor pada periode ini cukup berat karena 9 hari, terlebih di 3 hari terakhir. Apalagi di 3 hari terakhir yang waktu pelaksanaannya bersamaan dengan bulan ramadhan, sehingga terdapat beberapa peserta yang tidak dapat hadir di 3 hari terakhir itu,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menitikberatkan pada manajemen waktu saat rakoor berlangsung.
“Untuk time management-nya buruk, sebab ketidaksesuaian dari waktu yang telah ditentukan saat di awal.”
Kesan serupa juga dialami oleh Otniel, Ketua SMF Fakultas Teknik (FTEK).
“Pada rakoor tahun ini terdapat kemoloran yang cukup keterlaluan, karena ketidaktegasan dan juga terdapat jawaban yang bisa dibahas di belakang, serta bertele-tele dan memutar,” jelasnya.
Otniel juga menilai bahwa rakoor kali ini tidak berjalan secara efektif. Otniel menyoroti rakoor yang memakan waktu sampai 9 hari, dan rapat yang dilakukan hingga dini hari. Masalah waktu, cuaca, dan rasa tanggung jawab kembali menjadi sorotan yang sama, yang turut disampaikan oleh ketua SMF, fakultas yang berlogokan sandal jepit itu.
“Dari waktu yang tidak ditegaskan, ada juga cuaca serta tidak kuorum yang mana hal ini disebabkan misal ada fakultas yang sudah selesai pemaparan lalu merasa tidak perlu hadir,” tambahnya.
Fredriko Alberto Noya selaku Ketua SMF Fakultas Sains dan Matematika (FSM) melihat bahwa ada faktor eksternal yang juga turut memengaruhi terjadinya ‘jam karet’ pada rakoor kali ini. Hal tersebut pula yang membuat LKF tidak bisa memastikan kapan sesungguhnya giliran waktu pemaparan mereka tiba.
“Misalnya di rundown itu tertulis pemaparan dari fakultas A, nah kita enggak bisa menjamin fakultas A itu bisa selesai dengan cepat gitu. Nah beda-beda, ada fakultas A ini selesainya bisa lambat, fakultas B malah cepat gitu. Jadi, waktunya enggak bisa dipastikan secara pasti,” jelasnya.
Semestinya Selesai di Raker
Sebagai salah satu acuan dalam merumuskan program kerja selama satu periode, KPUPUPK (kerangka program umum program umum program khusus) seringkali menjadi hal yang dipersoalkan di dalam rakoor. Hal ini dikatakan oleh Ahmad Syaiful Haque yang merupakan fungsionaris BPMF Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).
“Seharusnya KPUPUPK dibahas di raker, tidak di rakoor. Rakoor hanya tinggal pengkoordinasiaan. Dalam praktiknya, tidak hanya di satu fakultas (saja –red) tetapi di beberapa fakultas,” jelas Ahmad.
Ahmad juga menjelaskan LKF-FEB sudah melakukan sosialisasi terkait GBHPLKF (garis besar haluan program lembaga kemahasiswaan fakultas) dan KPUPUPK sebelum raker. Meskipun sudah sesuai dengan apa yang disosialisasikan, namun masih terdapat miskomunikasi dari LKF ke LKU.
“Koordinasi dua arah (LKU – LKF –red) punya kesalahan di sini, tidak bisa menyalahkan LKU karena (telah –red) membantu semua fakultas. Tidak ada yang disalahkan tetapi kesalahan pasti ada,” jelasnya.
Menurutnya, komunikasi dan koordinasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya menjadi salah satu penyebab, apa yang seharusnya selesai di raker kembali dibahas di rakoor.
Di sisi lain, Alvaro selaku Ketua SMF Fakultas Teknologi Informasi (FTI) berbicara soal pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada saat rakoor. Menurutnya banyak pertanyaan yang semestinya sudah terjawab pada saat raker.
“Pertanyaan dari teman-teman LKU, seharusnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu (saat rakoor –red) sudah dibahas di raker. Orientasi pertanyaan lebih menyudutkan, tidak membangun,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, LKU seharusnya lebih maksimal dalam membantu dan membenahi rancangan program kerja LKF di bagian KPUPUPK maupun GBHPKLK pada saat raker. Hal demikian menurutnya akan membuat rakoor berjalan lebih efektif.
Sejalan dengan hal itu, salah satu ketua LKF yang tidak ingin identitasnya dicantumkan mengatakan seharusnya hal-hal yang dipermasalahkan di rakoor sudah rampung dibahas di raker, sehingga waktu pelaksanaan rakoor tidak ‘molor’.
“Kan kita udah ada jadwal raker juga, terus ada dari LKU yang turun ke LKF untuk melakukan pengecekan juga dan mendampingi juga. Menurut saya, itu masih belum efektif, karena kalau mau efektif, biarlah di raker itu. Digunakan waktu raker itu, biar nanti tidak molor di rakoor, jadi benar-benar dipadatkan di raker,” jelasnya.
Ia juga berharap untuk rakoor maupun rapat-rapat selanjutnya dapat berjalan lebih efisien dalam hal waktu, hal ini juga nantinya berdampak pada citra LK kedepannya.
Senada dengan pernyataan itu, Axel sebagai Ketua SMF-FBS juga menyampaikan hal yang sama terkait efektivitas waktu di dalam rakoor.
“Sosialisasi tentang hal-hal yang penting buat di rakoor itu mungkin bisa dibereskan sebelum raker dan saat raker, jadi bisa cukup menghemat waktu saat di rakoor. Karena kalau misalnya isu-isu yang besar itu beres di raker, di aras fakultas masing-masing, itu kan sebenarnya (waktu –red) yang dimakan tidak terlalu banyak,” jelasnya.
“Memang ini rapat yang cukup penting untuk jalannya program selama 1 periode, baik LKF maupun LKU, tapi dari segi waktu mungkin kurang efektif dalam realisasinya,” sambung Axel.
Di lain kesempatan, Ketua BPMF Fakultas Teologi, Ribka menerangkan dirinya kecewa dengan kemoloran waktu pada saat rakoor.
Merujuk kembali pada efektivitas rakoor, Ribka menganggap rakoor beberapa waktu lalu seakan mengulang kembali raker, sehingga itu menurutnya menghilangkan esensi dari koordinasi pada rakoor.
“Seperti ‘raker ulang’, esensial raker enggak ada lagi, double raker. Esensi dari koordinasi seharusnya didapatkan saat saling sharing dengan fakultas lain, mengenai kegiatan yang akan dilakukan oleh tiap-tiap fakultas,” jelas Ribka.
Dinilai “Overworked”
“Terkait dengan rakoor itu sebetulnya, kami mau menghilangkan dogma-dogma yang 5 hari overworked itu, jadi kemungkinan Jum’at, Sabtu, Minggu tuh enggak tidur, kan biasanya kita seperti itu dari periode ke periode,”
Raja Abednego Silaloho selaku Ketua Umum BPMU (Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas).
Rakoor dipandang Raja overworked karena pelaksanaan yang dimulai dari pagi hingga larut malam. Secara lebih lanjut Raja menerangkan alasan mengapa rakoor periode ini dimulai pada sore hari.
“Kenapa kita bisa mulai jam sore? Yang pertama alasannya jelas terkait dengan kelas karena kalo kita lihat dari periode-periode kemarin juga, rakoor-nya memang berjalan dengan lancar, berjalan dengan singkat, tapi apakah efektif? Enggak, karena hal-hal yang krusial itu masih ada yang lolos, karena pihak-pihak yang istilahnya mempunyai pemikiran kritis, itu masih kelas, kemudian ada keperluan lain, atau dia magang, kerja, segala macam di jam pagi,” jelasnya.
Raja menuturkan waktu pelaksanaan rakoor yang berlangsung lama dari periode ke periode juga disebabkan oleh overworked. Selain itu, waktu pelaksanaan rapat hingga pagi hari dapat membuat peserta kehilangan konsentrasi dalam menyimak pemaparan yang dilakukan.
“Akhirnya kami memutar pikiran, bagaimana cara menghilangkan dogma-dogma overworked ini, yang nanti hari Jum’at, Sabtu, Minggu itu kita enggak trabas (sepenuhnya-red) 24 jam terus,” jelasnya.
Meskipun sudah terkonsep sedemikian rupa, menurutnya masih ada kesalahan dalam hal eksekusinya, hal ini berkaitan dengan izin dari penyedia tempat, maupun kendala yang berkaitan dengan proposal.
Perihal efektivitas, Raja mengatakan tidak memiliki acuan pasti terkait berapa hari semestinya rakoor berjalan, namun Ia lebih menyinggung budaya overworked yang sering terjadi di LKU.
“Kalo dari periode ke periode, yang harusnya yang baik itu pertama tidak mengganggu jam perkuliahan, yang kedua adalah tidak mengganggu jam istirahat juga. Dua aspek itu yang paling penting untuk rapat-rapat koordinasi atau evaluasi,” jelasnya.
“Sudah Waktunya LK Berbenah”
Debora Natalia Sudjito, S.Pd., M.Ps.Ed, salah seorang pengajar di Fakultas Sains dan Matematika (FSM), yang juga pernah aktif berkecimpung dalam Lembaga Kemahasiswaan semasa menyandang status mahasiswa di UKSW. Dalam berbagai kesempatan beliau sering diminta untuk berbagi pemahamannya mengenai manajemen waktu, termasuk saat penyampaian materi SWLC (Satya Wacana Leadership Camp) tahun lalu.
Debora menjelaskan terkait banyaknya persoalan mengenai KPUPUPK, program di masing-masing fakultas yang perlu direvisi, sering tidak kuorum (salah satunya karena kendala cuaca) yang pada akhirnya berdampak pada ‘kemoloran’ waktu rapat, dan lain sebagainya merupakan hal yang sekiranya wajar terjadi dalam rakoor.
“Lama waktu ideal untuk rakoor tergantung dari efektivitas tiap sesi fakultas. Semakin beres di raker LKF, semakin efektif rakoor,” jelasnya.
Perihal waktu ideal berjalannya rapat, Debora menyarankan agar waktu rapat dilaksanakan pada jam efektif, misalnya pukul 9 pagi hingga 9 malam.
“Kalo sepanjang tengah malam rapat, yang dapat bagian di tengah malam ke subuh itu sudah capek, jadi sulit fokus, dan rapat jadi enggak efektif,” tuturnya.
Semuanya dimulai dari LKF, dengan membangun lingkungan yang konstruktif, seperti contohnya tidak ‘molor’ dalam hal waktu, mengerjakan tugas-tugas dengan baik, dan lain-lain. Menurut Debora, beberapa hal tersebut bisa menjadi upaya agar mahasiswa tetap mau bergabung dengan LK.
“Kembalikan esensi rakoor sebagai wadah koordinasi,” ujar Debora.
Reporter: Alexander Pedro, Tio Jaya Perdana
Penulis: Reyvan Andrian Kristiandi
Editor: Cyntia Trisetiani Baga
Desain/Foto: Jereld Giovanni/Dok. Rakoor 2023