Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Danantara (Daya Anagata Nusantara) lahir sebagai simbol harapan untuk membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi negara. Berdasarkan sumber dari Suara.com, pemerintah berpendapat bahwa lahirnya Danantara tidak hanya dapat membantu perekonomian Indonesia, tetapi juga memungkinkan terwujudnya Indonesia Emas 2045. Sayangnya, pendapat pemerintah berbanding terbalik dengan banyaknya respons negatif dari berbagai pihak. Apakah hadirnya Danantara ini dapat berdampak secara nyata bagi masa depan Indonesia?
Dalam mengoperasikan Danantara, sumber modal anggaran Danantara diketahui membutuhkan dana yang sangat besar karena memiliki investasi jangka panjang bagi perekonomian Indonesia. Pada pidato yang disampaikan Prabowo, Danantara memiliki dana awal sebesar Rp 1.000 triliun. Namun, dilansir dari DetikFinance, selain modal awal, Danantara juga mendapat tambahan modal dari efisiensi anggaran sebesar US$ 20 miliar.
Keberadaan beberapa figur dengan rekam jejak kasus korupsi dalam struktur Danantara pun menimbulkan pertanyaan publik terkait transparansi dan akuntabilitas lembaga ini.
Salah satu nama yang disorot adalah Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, yang pernah terlibat dalam kasus korupsi Rp 100 miliar pada tahun 2008. Meski memiliki pengalaman di sektor ekonomi, rekam jejaknya dalam kasus korupsi menjadi pertimbangan dalam pemilihannya sebagai Ketua Tim Pakar dan Inisiator Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Kehadiran figur-figur kontroversial ini memicu pro dan kontra di masyarakat. Kritik muncul karena sistem birokrasi Danantara dinilai berisiko membuka peluang korupsi. Transparansi dalam pengelolaan lembaga ini menjadi tuntutan utama publik agar kepercayaan terhadap Danantara dapat terjaga. Sebagian masyarakat mempertanyakan keputusan Prabowo terkait transparansi pengelolaan Danantara.
Sistem kerja Danantara juga dipertanyakan, melihat bagaimana keuntungan dari investasi dividen BUMN akan dikelola oleh Danantara dan dialokasikan untuk mendanai berbagai program pemerintah. Sebelumnya, hasil dari dividen BUMN diatur oleh Kementerian Keuangan dan dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, setelah hasil dividen BUMN dialihfungsikan ke Danantara, banyak masyarakat yang kembali merasa hal tersebut membuka peluang terjadinya korupsi.
Lahirnya Danantara ini telah menjadi isu aktual yang sedang ramai dibicarakan, tidak hanya dari masyarakat Indonesia, tetapi ahli peneliti lainnya. Salah satunya adalah Deni Friawan, seorang peneliti senior di Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta. Ia meragukan bahwa Danantara akan berjalan dengan baik, terlebih melihat struktur Danantara yang memungkinkan terjadinya bureaucrat capitalism. Bureaucrat capitalism menggambarkan situasi di mana para pejabat pemerintah atau birokrat secara langsung terlibat dalam kegiatan ekonomi demi keuntungan pribadi mereka.
Hadirnya Danantara pun menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di kalangan masyarakat dan pemerintah. Sehingga kedepannya, transparansi pengelolaan Danantara akan menjadi kunci utama agar lembaga ini dapat benar-benar memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia, agar tidak sekedar menjadi janji politik.
Sumber: Kumparan, Katadata, Bisnis
Penulis: Martadina Sepania Sihombing
Editor: Nicola Ananda & Michael Alexander Budiman