Apa itu efisiensi anggaran? Dilansir dari laman resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sederhananya efisiensi anggaran merupakan upaya untuk mengurangi pengeluaran negara dengan cara yang strategis. Tujuannya adalah untuk mengalokasikan dana yang tersedia ke sektor-sektor yang lebih mendesak. Mekanisme dalam menjalankan kebijakan efisiensi anggaran, mencakup meniminalkan pengeluaran yang tidak prioritas atau kurang produktif, mengurangi pemborosan baik dalam bentuk pengeluaran yang tidak perlu maupun dalam bentuk alokasi sumber daya yang tidak optimal, dan menggunakan anggaran secara strategis untuk menciptakan dampak yang maksimal.
Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menerapkan kebijakan efisiensi anggaran. Langkah ini bertujuan untuk mengelola belanja negara secara lebih efektif dan menekan defisit fiskal yang diproyeksikan mencapai Rp 616,2 triliun atau 2,53% dari PDP. Pemerintah menargetkan belanja kementerian atau lembaga dan Rp 50,6 triliun dari penyesuaian transfer ke daerah. Namun, kebijakan ini menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada Triwulan III-2024, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,95% dari 5,17% pada triwulan sebelumnya, mengindikasikan perlambatan aktivitas ekonomi. Selain itu, investasi (PMTB) hanya tumbuh 5,15% jauh dari target ideal 8% yang diperlukan untuk menjaga momentum ekspansi ekonomi yang berkelanjutan. Daya beli masyarakat juga mengalami tekanan, dengan proporsi kelas menengah menyusut dari 21,45% pada 2019 menjadi 17,13% pada 2024, yang berarti sekitar 9,48 juta orang mengalami penurunan status ekonomi. Situasi ini diperparah dengan meningkatnya rasio kredit bermasalah (NPL) ke angka 2,19% menandakan peningkatan risiko gagal bayar terutama di sektor UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Kondisi ini menunjukkan perekonomian sedang mengalami tekanan, terutama di sektor UMKM. Dalam upaya mengendalikan pengeluaran negara, pemerintah pun menetapkan landasan hukum untuk kebijakan efisiensi anggaran.
Kebijakan ini didasari oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang mengatur tentang efisiensi belanja negara dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta diikuti dengan surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Kebijakan ini tidak lepas dari perdebatan. Beberapa pihak berpendapat pemangkasan anggaran justru menimbulkan dampak negatif bagi sektor-sektor penting seperti pendidikan dan layanan publik. Pemangkasan anggaran yang telah diterapkan ini tentunya mempengaruhi kementerian dan lembaga khususnya yang mengurusi pelayanan publik. Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang kebijakan pemotongan anggaran tersebut dapat mengganggu kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat khususnya di sektor pendidikan.
Kritik terhadap pemangkasan anggaran tidak hanya datang dari lembaga pengawas, tetapi juga dari kelompok mahasiswa yang merasa kebijakan ini mengancam masa depan pendidikan mereka.
Tidak hanya sampai disitu saja, keresahan yang muncul kemudian memicu protes dari kalangan mahasiswa dalam aksi “Indonesia Gelap” yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyoroti dampak negatif dari pemangkasan anggaran terhadap pendidikan dan kesehatan. Kekhawatiran muncul karena pemotongan ini akan mengurangi kualitas pendidikan. Masih dengan persoalan yang sama, Transparency International Indonesia (TII) juga angkat suara pemangkasan anggaran dapat mengancam kelancaran proyek infrastruktur dan kualitas layanan publik.
Di tengah perdebatan mengenai kebijakan tersebut, hal terpenting yang harus kita ketahui serta pahami bersama adalah urgensinya dan apa dampak yang dihasilkan. Beberapa pihak menilai implementasi efisiensi anggaran masih belum terarah, mengingat dampaknya terhadap sektor layanan publik. Hari-hari ini kebijakan tersebut tetap menjadi topik hangat, seperti pemangkasan anggaran Komisi Nasional Disabilitas (KND), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (komnas HAM), dan komnas Perempuan. Apa yang sebenarnya menjadi pertimbangan para pemegang kepentingan sehingga kebijakan tersebut bisa merambat ke kelompok rentan. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) juga menyoroti persoalan yang sama, salah satunya dengan mewawancarai Ketua Komnas Perempuan mengenai dampak efisiensi anggaran terhadap lembaga ini. Andy Yentriyani menyatakan pengurangan anggaran akan berdampak pada tindak lanjut pengaduan yang masuk. Ketua Komnas Perempuan tersebut kemudian menegaskan kebijakan efisiensi anggaran akan menyebabkan daya penanganan Komnas Perempuan menurun menjadi 75%.
Di satu sisi, langkah ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan fiskal dan mengoptimalkan penggunaan dana negara. Namun, di sisi lain, dampaknya terhadap berbagai sektor, terutama layanan publik, pendidikan, dan kelompok rentan, tidak dapat diabaikan.
Perdebatan yang muncul mencerminkan pentingnya transparansi dan perencanaan yang matang dalam menerapkan kebijakan fiskal agar tidak justru melemahkan fondasi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Sumber: JDIH BPK, Perpajakan DDTC, Kumparan, Kompas, UMJ, CSIS
Penulis: Junior Brilian Christiano Ransun
Editor: Nicola Ananda