Bila mendengar frasa “Kota terboros Jawa Tengah”, kemungkinan besar yang pertama kali melintas di benak kita bukanlah Salatiga, melainkan kota-kota besar seperti Semarang dan Solo (Surakarta). Dibandingkan dengan wilayah lainnya di dalam provinsi, Semarang dan Solo memiliki jumlah penduduk kelas menengah ke atas yang cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah mall di kedua kota tersebut. Salatiga sebagai kota kecil dengan populasi mahasiswanya yang besar – yang sebagian besar belum bekerja – tentunya bukan termasuk kota yang boros, mungkin begitulah anggapan awal kita.
Namun, fakta lapangan menunjukkan hal yang berbeda.
Dalam laporan bertajuk “Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka 2023” yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Jawa Tengah, justru ditemukan bahwa pada tahun 2022, Salatiga-lah yang penduduknya mengeluarkan uang paling banyak dalam sebulan diantara semua wilayah administratif di Jawa Tengah; rata-rata pengeluaran per bulan penduduk Salatiga adalah Rp 2.394.280, yang terdiri atas pengeluaran untuk makanan sebesar Rp 858.244 dan pengeluaran non-makanan sebesar Rp 1.536.037. Kota Semarang dan Solo menyusul dengan masing-masing pengeluaran total rata-rata per bulan sebesar Rp 1.974.626 dan Rp 1.746.011. Dengan adanya temuan ini, asumsi bahwa Salatiga bukanlah kota boros telah dipatahkan.
Dilansir dari kompas.com, Sekretaris Daerah Kota Salatiga Wuri Pudjiastuti berpendapat bahwa tingginya pengeluaran rata-rata di Salatiga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah mahasiswa yang berasal dari luar daerah, yang mempercepat sirkulasi pendapatan dan pengeluaran uang.
Universitas Kristen Satya Wacana merupakan salah satu perguruan tinggi di Salatiga yang memiliki jumlah mahasiswa asal luar daerah yang cukup besar, Pers Mahasiswa Scientiarum melakukan penelitian internal guna membuktikan pernyataan Sekretaris Daerah Salatiga di atas. Penelitian dilakukan dengan cara melaksanakan survei terhadap mahasiswa, melalui kuesioner Google Forms, terkait pemasukan dan pengeluaran uang. Setelah itu, tim peneliti mewawancarai responden kuesioner yang berasal dari luar daerah untuk mempertajam hasil penelitian.
Hasil survei pendapatan dan pengeluaran mahasiswa UKSW. Jumlah partisipan adalah sebanyak 144.
Gambar Diagram 1. SA/Pusat data dan Analisis
Gambar Diagram 1 memperlihatkan jumlah responden berdasarkan gender. Diketahui bahwa jumlah responden perempuan sebesar 60,4 persen dan jumlah responden laki-laki sebesar 39,6 persen. Ini berarti survei lebih banyak diikuti oleh perempuan daripada laki-laki.
Gambar Diagram 2. SA/Pusat data dan Analisis
Gambar Diagram 2 menunjukkan dari mana mahasiswa memperoleh pendapatan. Mayoritas atau sebesar 92,4 persen dari responden memperoleh pendapatan dari orang tua ataupun wali. Terdapat sebagian kecil dari responden yang mengandalkan penghasilan pribadi untuk membiayai hidup mereka. Selain itu, terdapat pula segelintir mahasiswa yang memperoleh pendapatan dari penghasilan pribadi serta pemberian orang tua.
Gambar Diagram 3. SA/Pusat data dan Analisis
Gambar Diagram 3 memperlihatkan jumlah pengeluaran per bulan mahasiswa, yang berkisar antara kurang dari Rp 500.000 hingga lebih dari Rp 2.500.000. Didapati bahwa 52,1 persen responden menghabiskan kurang dari Rp 1.000.000 selama satu bulan, dengan 13,2 persen bahkan mampu mengeluarkan kurang dari Rp 500.000 – kelompok ini bisa jadi mewakili mahasiswa yang berasal dari Salatiga dan wilayah sekitar. Sementara itu, 21,5 persen responden melaporkan bahwa mereka menghabiskan antara Rp 1.000.000 dan Rp 1.500.000 dalam sebulan. Adapun sisa 26,4 persen responden mengeluarkan lebih dari Rp 1.500.000 dalam sebulan. Kelompok terakhir dianggap mewakili mahasiswa asal luar daerah.
Gambar Diagram 4. SA/Pusat data dan Analisis
Gambar Diagram 4 memperlihatkan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan pokok (makan dan minum sehari-hari), yang berkisar antara kurang dari Rp 300.000 hingga lebih dari Rp 900.000 dari jumlah pengeluaran total per bulan. Sebesar 43,1 persen responden mengeluarkan biaya dalam kisaran Rp 300.000 hingga Rp 600.000 untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kelompok ini bisa mewakili baik mahasiswa dari dalam maupun luar daerah. 36,1 persen responden menghabiskan lebih dari Rp 600.000 dalam sebulan; ini mewakili mahasiswa asal luar daerah. Sebanyak 20,8 persen lainnya hanya membutuhkan kurang dari Rp 300.000 – jumlah ini merepresentasikan pengeluaran mahasiswa yang memiliki rumah di Salatiga dan sekitarnya, dimana mereka tidak perlu mengeluarkan biaya kebutuhan pokok sebesar mahasiswa dari luar daerah, yang harus memenuhi sendiri kebutuhan pokok tanpa bantuan langsung orang tua atau wali.
Gambar Diagram 5.1 SA/Pusat data dan Analisis
Gambar Diagram 5.2 SA/Pusat data dan Analisis
Gambar Diagram 5.1 memperlihatkan seberapa besar pengeluaran per bulan mahasiswa untuk kebutuhan non-pokok; apa saja kebutuhan tersebut ditunjukkan oleh Gambar Diagram 5.2. Pada diagram pertama, didapati bahwa 75 persen responden membelanjakan kurang dari Rp 500.000 untuk kebutuhan non-pokok, sedangkan 18,1 persen menghabiskan antara Rp 500.000 dan Rp 1.000.000. Sisanya menghabiskan lebih dari Rp 1.000.000. Di diagram kedua, ditemukan bahwa pemakaian transportasi merupakan penyebab pengeluaran kebutuhan non-pokok yang paling umum diantara responden, disusul oleh nongkrong dan belanja online. Responden juga memberi beragam jawaban lain, seperti jajan, membeli snack serta pulsa listrik, membayar iuran, dsb.
Banyaknya mahasiswa yang mengeluarkan biaya untuk keperluan transportasi adalah sesuatu yang wajar, mengingat banyak mahasiswa UKSW yang letak kosnya cukup jauh dari kampus. Selain berkuliah, mahasiswa juga sering melakukan kegiatan yang membutuhkan transportasi yang memadai, seperti nongkrong, misalnya.
Salah seorang responden berinisial A bercerita, ia biasanya menghabiskan sekitar Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000 per bulan hanya untuk pergi nongkrong bersama teman-temannya. Ketika ditanya mengapa ia mengeluarkan biaya sebesar itu untuk nongkrong, A menjelaskan bahwa hal itu disebabkan oleh pengaruh lingkungan pergaulannya. Kegemaran teman-teman sepergaulannya untuk pergi nongkrong di tempat mahal seperti kafe mendorong A untuk melakukan aktivitas serupa.
A saat ini belum bekerja dan masih mengandalkan transfer uang dari orang tua untuk membiayai hidupnya di Salatiga. Ia berkata, biaya hidup di Salatiga lebih murah daripada biaya hidup di Ambon, kota asalnya. Faktor perbedaan biaya hidup inilah yang menyebabkan ia bisa lebih “boros” ketika berada di Salatiga, dibanding ketika ia berada di Ambon.
Hasil survei dan wawancara di atas menunjukkan, kehadiran mahasiswa dari berbagai daerah Nusantara di Salatiga merupakan salah satu alasan tingginya tingkat konsumsi rata-rata kota Salatiga. Penghasilan orang tua mahasiswa yang tergolong tinggi untuk standar Salatiga lantas memampukan mahasiswa untuk lebih boros di kota ini, ketimbang di daerah asal mereka. Di luar itu, kecenderungan mahasiswa untuk berperilaku konsumtif pun turut memainkan peran penting dalam tingginya tingkat konsumsi di Salatiga.
Boros tidak selalu berarti negatif. Dalam kasus ini, tingginya konsumsi masyarakat Salatiga merupakan penanda ekonomi berjalan dengan lancar, setelah sempat mengalami perlambatan akibat pandemi Covid-19. Hal yang patut dilakukan mahasiswa adalah belajar untuk mengatur keuangan dengan baik.
Reporter: Annisa Reiny Hanumfebriyanti, Elshafa Kirana Khaerunnisa
Penulis : Michael Alexander Budiman
Editor: Tio Jaya Perdana
Foto: Jereld Giovanni
Desain: Imanuel Satya Adi Nugroho