Diskusi Akbar “Cak Munir Adalah Kita” yang diselenggarakan oleh LPM DinamikA UIN Salatiga bersama KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Aksi Kamisan Semarang dan Social Movement Institute | Dok. Scientiarum
Pada usia 20 tahun sejak kepergian Munir, jejak langkahnya masih terasa dalam perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Munir merupakan sosok yang tidak gentar dalam menghadapi rasa takut, bahkan ketika dihadapkan pada situasi yang sangat buruk. Kata-katanya yang tegas dan prinsipil terus menjadi inspirasi bagi banyak pejuang HAM.
Salah satunya warisan terbesar yang ditinggalkan Munir adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS). Munir dengan sadar menolak diposisikan sebagai hero atau malaikat. Baginya, ia adalah manusia yang ingin memperjuangkan keadilan.
Sepanjang karirnya, Munir tidak segan-segan menuding para pejabat yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM, termasuk menyinggung keterlibatan seorang jenderal dalam berbagai kasus. Meski begitu, Munir tidak pernah membenci institusi TNI, Munir memperjuangkan kesejahteraan tentara sesuai hukum.
Munir pernah ditawari jabatan Jaksa Agung pada usia 38 tahun, tetapi ia menolak, menunjukkan bahwa baginya, kekuasaan bukanlah tujuan. Saat ia pindah ke Jakarta pada tahun 1996, Munir memperluas advokasi HAM-nya, yang sebelumnya fokus pada buruh, menjadi salah satu gerakan yang lebih luas melalui pendirian KontraS. Organisasi ini menjadi tonggak penting dalam melawan kekerasan dan ketidakadilan, terutama pada masa reformasi.
Ketika ancaman datang dari segala arah, ketika setiap langkah bisa menjadi yang terakhir, Munir dan rekan-rekannya tetap berdiri tegak. Mereka tahu bahwa suara yang mereka bawa bukan hanya suara mereka sendiri–itu adalah suara ribuan orang yang hilang, suara korban yang ditindas oleh kekuasaan. Mereka tak pernah mundur, meski hidup mereka dipertaruhkan. “Kita nggak akan pernah takut, kita nggak akan pernah menyerah. Generasi muda sekarang adalah nilai-nilai Munir, dan walaupun hasilnya menang atau kalah, tapi kita nggak pernah takut,” tutur Yati selaku Koordinator KontraS pada 2017 – 2020, dalam diskusi akbar “CAK MUNIR ADALAH KITA” di Orlen Heritage Cafe Salatiga, Kamis (26/9).
Dalam konteks demokrasi hari ini, banyak hal kemunduran dengan hukum digunakan untuk kepentingan korupsi. Munir sering mengatakan bahwa koruptor adalah “penghianat bangsa”, karena mereka merusak kepercayaan rakyat. Untuk melawan kehancuran moral serta hukum, Munir percaya bahwa perlawanan adalah satu-satunya jalan.
Generasi muda yang muncul sekarang adalah bukti bahwa nilai dan prinsip Munir tetap hidup. Meski ia telah tiada, semangat perjuangannya masih menyala dalam upaya menegakkan kemanusiaan serta keadilan di Indonesia.
Catatan: Narasi ini merangkum perjalanan Munir dan pengaruhnya yang terus dirasakan hingga hari ini dalam memperkuat pesan bahwa perjuangan HAM adalah perjuangan yang tak lekang oleh waktu.
Reporter: Nicola Ananda
Penulis: Jonas Elroy
Editor: Nicola Ananda
Desain/Foto: Jonas Elroy/Dok. Scientiarum