Hari itu, Selasa, 19 Juli, teman-teman mengajak saya pergi ke kampus, ramai katanya. Tipikal manusia yang agak kurang berminat dengan keramaian, saya akhirnya dengan berat hati ikut rombongan walaupun kesannya terpaksa karena tidak mengetahui apa kegiatannya. Saya pergi dengan tanpa ekspektasi.
Kegiatan dengan tiket Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan scan barcode vaksin, kami lalu diizinkan memasuki tempat kegiatan. Bertepatan saat itu sedang tampil etnis Batak (kalau tidak salah) di atas panggung di tengah lapangan. Penasaran dengan kegiatannya, karena mata saya mendapati berbagai stand dari berbagai etnis di Indonesia yang ada di UKSW. Tanpa bertanya, sambil berjalan melewati stand-stand, ada dialog internal, mempertanyakan kegiatan apa ini. Saya lalu berusaha mencari informasi, tanpa bertanya tentunya. Mata saya lalu mendapati tulisan di panggung “Indonesian International Culture Festival 2022 (IICF). Saya tertegun, dari sepenggal tulisan tersebut saya berkesimpulan ini kegiatan merayakan keberagaman kita di UKSW lebih khusus keberagaman budaya. Saya akhirnya berpikir, ini kegiatan sangat keren.
Kamilah insan berbudaya, demikian tema yang diusung pada IICF tahun ini. Menyuguhkan kekhasan masing-masing seperti kuliner, miniatur rumah adat, tari-tarian, musik serta pertunjukkan minat bakat dari setiap etnis yang dimiliki UKSW. Nampaknya sederhana, pun menghibur, tetapi tidak sekadar menghibur, ini sarat makna. Bahwa dengan begitu beragam, UKSW memberi ruang bagi kita untuk merayakan kemajemukan kita. Pun menjadi pengingat bagi warga UKSW atas pentingnya menghargai antar suku budaya bangsa. Merayakan keberagaman ini berarti mengakui adanya budaya lain selain kita.
Konon, acara penutupan (closing) yang paling dinanti-nantikan oleh kebanyakan mahasiswa dan stakeholder UKSW, dan kali ini menyisakan kekecewaan. Ungkapan kekecewaan melalui lisan maupun tulisan pada kolom komentar posting-an instagram IICF. Sekitar seribuan komentar ada yang menyampaikan apresiasi tetapi didominasi komentar kecewa bahkan sangat kecewa, parah, bintang nol dan sejumlah komentar penilaian buruk lainnya. Alasan kekecewaan tidak lain adalah karena penyanyi tamu yang didatangkan pada acara penutupan jelek, tidak seperti pengalaman sebelumnya.
Adalah tidak tepat jika keren atau tidaknya kegiatan IICF ditentukan pada acara penutupan. Apalagi hanya karena penyanyi tamu yang tidak sesuai ekspektasi atau tidak keren menurut para penikmat kegiatan. Seolah-olah esensi IICF terletak pada penghujung dan siapa penyanyi tamunya. Dengan begini, saya menjadi ragu akan pemaknaan tentang IICF oleh mereka yang memberi rating buruk hanya karena tamu penyanyi yang tidak sesuai ekspektasi. Jangan-jangan IICF yang digelar setiap tahun ini hanya dianggap sebagai ajang pesta ronggeng, hura-hura tanpa makna sama sekali. Parahnya lagi, kita yang mengajak teman-teman dari luar UKSW dengan memberi informasi bukan esensi daripada IICF melainkan karena iming-iming kehadiran penyanyi tamunya yang keren. Orientasi kedatangan kita bukan karena memaknai esensi IICF tetapi siapa penyanyi di penghujung rangkaian acara, miris!
Padahal esensi daripada IICF jelas, kita merayakan keberagaman, bukan yang lain. Mengakomodasi semua etnis untuk menampilkan kekhasan masing-masing yang itu ada dalam rangkaian kegiatan selama beberapa hari. Sehingga siapapun yang memahami maksud dan tujuan kegiatan ini pasti tidak akan kecewa hanya karena penyanyi tamunya. Bagi saya, tamu penyanyi itu hanya bonus karena esensinya ada dalam rangkaian kegiatan selama beberapa hari itu.
Akhirnya, berekspektasi tentang sesuatu hal dengan memikirkan kemungkinan terburuk akan membuat kita baik-baik saja. Kita siap dengan apapun hasilnya sebab itu semua tidak dalam kendali kita. Mari positifkan persepsi bahwa kita merayakan keberagaman kita. Salam Basudara! (*)
Penulis: Steffi Graf Gabi (Mahasiswa Magister Biologi, Fakultas Biologi – UKSW)
Ilustrasi: Shintya Analia Parahita