Tulisan reflektif Prof.Thomas Pentury yang dibagikan di sosial media (saya peroleh baik di WA Group maupun FB, berjudul Thomas Pentury: Kecerdasan Sosial Wajib Bagi Pemimpin Kampus, Sebuah Refleksi Menjelang Pemilihan Rektor UKSW) menarik dibahas, mengingat, seperti judulnya, terkait dengan pemilihan Rektor UKSW. Sebagai Pembina yang secara kelembagaan memiliki kewenangan tertinggi dalam memutuskan siapa yang akan memimpin kampus Indonesia mini ini untuk lima tahun kedepan, rasanya perlu memastikan posisi pandangan itu secara tepat.
Kecerdasan sosial secara padat dapat dipahami sebagai fungsi dari kompetensi bernegosiasi dan berkolaborasi. Pemimpin dengan kecerdasan ini, memungkinkannya membangun dan mengembangkan lembaga dengan mengkonsolidasi energi-energi kelembagaan (sumber-sumber daya), baik internal maupun eksternal (lingkungan) secara optimal. Indikator-indikatornya antara lain indeks pengembangan jejaring kelembagaan, jejaring sosial, hubungan interpersonal, dan sejenisnya. Maka, tak bisa dipungkiri kecerdasan sosial memang merupakan elemen penting dalam kepemimpinan.
Saya berpendapat Prof. Pentury hanya bermaksud membuat tulisan reflektif singkat sehingga tidak sempat mengurai asumsi-asumsi filosofis maupun praktis yang melandasinya–kecuali bahwa secara eksplisit telah disebutkan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional sebagai faktor yang juga penting. Dengan memberi penekanan pada Kecerdasan Sosial, Prof.Pentury tentu berangkat dari hasil pengamatan dan kesimpulan tertentu terkait kondisi UKSW. Bagaimana pun setiap kesimpulan memiliki implikasi (runtun logis) dan konsekuensi (runtun tindak). Lantaran terkait masa depan UKSW, maka sebagai warga kampus saya menganggap perlu menyajikan perspektif dengan mencoba merefleksikan tiga asumsi yang (seharusnya) melandasi kesimpulan Prof.Pentury.

Prinsipnya, pemimpin dengan kecerdasan sosial seperti dimaksud Prof.Pentury harus sudah mengandaikan sejumlah kompetensi khas dan spesifik. Tanpa kompetensi-kompetensi dimaksud, keunggulan kecerdasan sosial seorang pemimpin dapat berpotensi membawa lembaga ke kondisi sesat arah, bahkan lebih parahnya berpotensi ke “permufakatan jahat” dalam pengelolaan lembaga.
Pertama; kompetensi spesifik terkait core business (bisnis inti) lembaga. Amanda H. Goodall, associate professor di Universitas London dan telah memfokuskan riset pada Kepemimpinan dan Kinerja Universitas menegaskan perlunya pemimpin memahami bisnis inti lembaga. Lantaran core business Universitas adalah pengajaran, penelitian dan pengabdian maka pemimpin (Rektor/presiden universitas) harus memiliki keunggulan dalam ketiga area ini. Namun, berdasarkan hasil risetnya Goodall juga mengingatkan bahwa kualitas penelitian itulah yang membedakan universitas terkemuka dari pesaing-pesaingnya. Menurutnya Universitas yang menghasilkan penelitian terbaik dapat menerima bagian terbesar dari pendanaan publik dan filantropi swasta. Seperti diketahui, sejak tahun 1980-an dibawah kepemimpinan Rektor Willy Toisuta, UKSW telah mengambil positioning sebagai riset university. Posisi ini menuntut “kompetensi keilmiahan,” khususnya penelitian sebagai standar kompetensi Rektor UKSW yang tidak dapat ditawar. Secara umum Goodall menyebut sebagai kepemimpinan ahli, dan spesifik pada universitas disebut pemimpin cendikiawan.
Goodall meneliti 55 universitas riset di Eropa dan USA dan menemukan bahwa kinerja universitas meningkat apabila presiden atau rektor merupakan cendekiawan berprestasi akademik. Rektor yang adalah peneliti mudah mendapatkan rasa hormat dari rekan-rekan akademis dan lingkungan luas sehingga memperoleh legitimasi memadai yang memungkinkannya membangun kolaborasi dan negosiasi dengan jejaring signifikan untuk operasi dan pengembangan lembaga.
Kedua; asumsi tentang core values. Setiap lembaga memiliki nilai-nilai inti yang membentuk kekhasan dan keunikannya, dibandingkan lembaga sejenis lain. Kecerdasan sosial yang dilepaskan dari core values cukup berpotensi membunuh organisasi. Dapat disebutkan core values UKSW adalah visi dan misinya, juga moto “menyegani Tuhan sebagai permulaan pengetahuan,” dan semua turunan yang lebih operasional dari nilai-nilai itu.
Dalam kepemimpinan Rektor Neil S.Rupidara pekerjaan besar terkait mengoperasikan core values UKSW dicoba dilakukan pada setiap aspek, mulai dari profil lulusan hingga penjabarannya dalam indikator-indikator capaian pembelajaran di mata kuliah, termasuk dalam berbagai aturan. Sebagai pekerja di Pusat Studi Pengembangan Pemikiran Kritis UKSW yang bertanggungjawab atas pengembangan pemikiran kritis (hanya untuk menyebut salah satu contoh), desain filosofi dan rancangan pembelajaran mata kuliah Berpikir Kritis, misalnya, menempatkan antaralain aktualitas dan sosiabilitas sebagai profil “berpikir kritis” warga akademik. Ini terurai dalam model Standar Intelektual dan Kebajikan Intelektual–meminjam model Paulian dari Richard Paul dan Linda Elder, misalnya dalam hal aktualitas untuk menstimulasi dan membentuk daya observasi dan inovasi, juga kedermawanan intelektual (intellectual generosity) untuk membangun kemampuan “berbagi pengetahuan dan keterampilan” kepada lingkungan (masyarakat dan negara). Disini aspek kecerdasan sosial secara eksplisit tercakup (tetapi tidak hanya di sini). Nilai-nilai lain adalah kerendahan hati intelektual (intellectual humility), integritas atau kejuruan intelektual, intellectual epistemic, dan sebagainya yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai UKSW.
Sekarang bisa dibayangkan, bagaimana pemimpin dengan kecerdasan sosial (kemampuan bernegosiasi dan berkolaborasi) mengelola UKSW tanpa nilai-nilai inti di atas? Ia mungkin saja sukses membawa lembaga menjadi dikenal luas, populis karena berkolaborasi dengan banyak sumber, namun tidak menjadikan nilai-nilai inti sebagai “rambu-rambu” dan tujuan, apa yang dapat terjadi? Di sini faktor karakter pemimpin harus menjadi dasar.
Itulah sebabnya, kecerdasan sosial dalam pengertian kompetensi bernegosiasi dan berkolaborasi harus mengandaikan pemimpin telah terlebih dahulu memiliki keahlian spesifik (terkait core business) dan loyalitas pada core values lembaga. Tidak sulit menemukan lembaga-lembaga yang popular dengan “nama besar” karena indeks kolaborasi yang kuat, namun cenderung menjadi bahan bajakan “para kolaboratornya.” Kolaborasi dengan ragam institusi bisa terjebak dalam lingkup settingan yang tanpa sadar justru melindungi kepentingan “sosio-sentrisitas,” dan bukan untuk mencapai visi dan misi lembaga.
Ketiga; sebagai yang terakhir yaitu keterikatan pemimpin pada upaya mewujudkan visi dan misi lembaga. Di sini titik-titik kolaborasi sudah diandaikan, yaitu terkait pencapaian visi misi. Di dalamnya tentu core business maupun core values. Core business sebagai “titik pijak sekaligus titik tuju,” sementara “core values” sebagai rambu-rambu yang memberi kawalan. Sebagai lembaga pendidikan yang fungsinya antara lain memproduksi pengetahuan, pemimpin harus memastikan kolaborasi dengan titik-titik signifikan yang dapat menghidupkan lembaga sesuai ciri spesifiknya. Misalnya dengan universitas-universitas terkemuka, ahli-ahli atau ilmuan-ilmuan utama di berbagai bidang keilmuan, lembaga-lembaga penelitian rujukan, pusat-pusat pengembangan IT, serta pos kolaborasi signifikan lain terkait bisnis dan nilai lembaga. Pemimpin perlu punya kecerdasan memetakan dan memastikan dengan si(apa) ii boleh berkolaborasi dan tidak dengan pihak lainnya. Batasannya pada bisnis inti, nilai dasar (inti), dan visi misinya.
Dengan memahami ketiga asumsi ini, kiranya tulisan reflektif Prof.Pentury dapat dipahami secara utuh. Setidaknya menurut saya, dan dalam kepentingan pemilihan pemimpin UKSW lima tahun ke depan (2022-2027).
Marilah kita doakan semoga pemilihan Rektor UKSW benar-benar berjalan dalam pertimbangan matang memperhatikan kekhasan dan masa depan UKSW, serta dalam semangat “menyegani Tuhan sebagai permulaan pengetahuan.”
Hiduplah garba ilmiah kita!
Penulis: Semuel S.Lusi (Peneliti CCTD UKSW)
Editor: Elyan Mesakh Kowi
Desain: Laksmita Sekar