San.gita (baca: Sanggita) merupakan grup musik yang terbentuk di Kota Salatiga sejak bulan November 2022. San.gita diinisiasi oleh sepasang suami-istri, Adoi dan Bonita yang pindah tempat tinggal dari Jakarta ke Salatiga pada tahun 2019. Adoi dan Bonita yang sudah melanglang buana di ibukota kini terus melanjutkan kegiatan bermusiknya dalam format combo quartet.
Terbentuk dari kerinduan Adoi dan Bonita untuk kembali bermain musik dalam format band setelah sebelumnya mereka lebih sering tampil berdua, Adoi dan Bonita memutuskan untuk menggaet Michael (Icha) dan Sunu yang merupakan teman nongkrong mereka untuk mengisi posisi drummer dan bassist untuk melengkapi formasi San.gita.
“Akhirnya kami pinang mereka berdua untuk tampil bersama di sebuah event. Kita latihan seminggu sekali untuk menuju acara tersebut. Acara (tertunda –red) gagal. Terus kita ngapain ya? Kita bikin band yuk! (San.gita –red),” ujar Bonita.
Bonita juga menambahkan, bahwa acara yang tertunda bukan menjadi penghalang untuk melanjutkan kegiatan bermusiknya. Bonita, Adoi, Icha, dan Sunu beserta tim manajemen dan produksi memiliki komitmen yang sama untuk terus mewujudkan ide terbentuknya San.gita.
“Ternyata ketika kami (San.gita -red) bersama ini banyak persamaan minat, energi, keresahan, dan banyak hal yang membuat kami punya nilai-nilai sama terhadap suatu pola pikir,” tambahnya.
Dari banyaknya persamaan tersebut, akhirnya Bonita, Adoi, Icha, dan Sunu sama-sama sepakat untuk melakukan disiplin kreatif dalam bentuk latihan setiap minggu. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh mereka berempat saja, namun orang-orang yang berada di balik mereka juga melakukan hal yang sama.
“Salah satu disiplin kreatif yang secara sadar dan semangat kami kembangkan, dan itu nggak cuma musiknya, bagian produksi dan manajemen pun melakukan hal yang sama. Pada dasarnya, kami ingin maju bersama dengan kendaraan (San.gita –red) yang kami cintai ini, yang kami lakoni dengan serius tapi ngga kaku,” jelas Bonita.
Setelah berjalan selama empat bulan, pada Sabtu (25/2) lalu San.gita telah melangsungkan program mandiri pertama mereka yang diberi tajuk “Lelaku” di Tepikota Coffe, Salatiga. Mereka membawakan tiga karya lagu yang mereka garap bersama-sama melalui diskusi rutin yang mereka lakukan. Menurut Adoi, pola-pola diskusi yang dibangun di San.gita dapat menjadi bahan bakar karya yang harus terus dikembangkan.
“Hal-hal itu (diskusi –red), bisa dan bagus jika dikembangkan. Kami (San.gita –red) melakukannya dengan diskusi, bukan hanya diskusi verbal. Ya seperti ketiga lagu (yang dibawakan –red) tadi juga kita bikinnya dengan diskusi ya.”
Ketiga lagu yang dimaksud adalah “Lokomotif”, “Tanda seru”, dan “Marilah” yang mereka lantunkan di penghujung acara Lelaku. Ketika ditanyakan soal ciri khas musik dari San.gita, Bonita berpendapat bahwa San.gita enggan untuk mengacu pada band atau jenis musik tertentu sehingga segala sesuatunya dapat berjalan dengan “cair”.
“Sepertinya akan sangat terbatas, jika acuannya (ciri khas San.gita –red) itu dibuat. Kami tidak pernah mengacu, bahkan waktu kita bikin musik, waktu kita bikin lirik, kami tidak pernah berpikiran bahwa lagu (kami –red) ini akan seperti itu,” ungkap Bonita.
Senada dengan ungkapan Bonita, Icha juga menambahkan bahwa San.gita tidak begitu “berkiblat” pada genre musik tertentu. Drummer yang menyukai genre musik metal tersebut beranggapan bahwa pendengar bebas menilai genre musik San.gita berdasarkan penilaiannya masing-masing.
“Jadi sebenarnya kami tidak terlalu memikirkan genre ya, jadi ya terserah orang. Kalian mau menilai (genre musik San.gita –red) apa, kalian mau menilai musik kita seperti apa, kalian mau menilai ciri kita ‘oh mereka ini sepertinya agak nge-rock nih, oh mereka ini sepertinya agak nge-folk, mereka sepertinya nge-pop’ oh tidak apa-apa, terserah kalian (pendengar –red). Bebas gitu, karena hidup ini sudah terlalu banyak peraturan ya,” sambungnya.
Sejalan dengan pernyataan dari Icha, Adoi menerangkan soal lirik dalam lagu-lagu milik San.gita yang mempunyai maknanya masing-masing. Salah satunya adalah lagu “Lokomotif” yang mengingatkan orang untuk tidak merasa jemawa.
“Lokomotif perlu ingat bahwa dia mungkin terdepan dalam perjalanan, cuma orang yang bikin rel itu sudah sampai lebih dahulu di tempat tujuan. (Lagu “Lokomotif’ –red) mengingatkan supaya (orang –red) tidak jemawa,” jelas Adoi.
Sementara lagu yang berjudul “Tanda Seru” memiliki untaian lirik yang mengisyaratkan keresahan di masa sekarang. Berbanding terbalik dengan lagu “Marilah” yang memiliki kesan lagu yang lebih santai. Lebih lanjut, Bonita mengungkapkan bahwa San.gita harus selalu memberikan yang terbaik dalam setiap karya dan butuh keberanian yang lebih untuk bisa menyampaikan apapun melalui lagu-lagu mereka.
“Kami harus selalu bisa memberikan yang terbaik ketika kami mau berkarya, ketika kami latihan, diskusi, konser, jalan, ngobrol, kami harus memberikan yang terbaik. Bahkan dalam kondisi terburuk pun, yang terbaik adalah ‘yuk kita diskusikan yuk’. It takes guts, butuh keberanian untuk menyampaikan apapun yang sepertinya susah sekali untuk disampaikan tapi itu (harus –red) disampaikan, aku rasa itu hal terbaik yang bisa dilakukan,” imbuhnya.
Adoi berpendapat bahwa San.gita bukan hanya sekumpulan orang yang hanya bermain musik, namun juga memahami dan menerapkan musik sebagai gaya hidup dalam tingkah laku sehari-hari.
“Kami memang bukan hanya pemusik, kalo yang ku perhatikan musik itu gaya hidup. Kami (San.gita –red) sebegitu menghayati musiknya, sehingga sesuatu yang kita jalankan sama seperti musik. Contohnya apa? satu per satu. Dari bar satu tidak bisa langsung ke bar 33, ya lu lewati aja ketukan demi ketukan. Pemahaman seperti itu dan dijalankan dalam tingkah laku sehari-hari. Itu salah satu contoh menjadikan musik sebagai gaya hidup,” ujar Adoi.
Adoi berharap San.gita dapat memberikan makna tersendiri bagi setiap pendengarnya.
“Mudah-mudahan yang tersampaikan dari San.gita bukan hanya musiknya, bunyi-bunyinya, bukan hanya verbalnya. Ya seperti ‘matahari menyinari bumi’, terasa sinarnya, hangatnya, segarnya, bahkan mungkin tidak perlu dikata-katakan,” tutupnya.
Reporter: Annisa Reiny Harnum Febriyanti, Agita Parintak, Nikolas Genta Ragil Subagya
Penulis: Reyvan Andrian Kristiandi
Editor: Cyntia Trisetiani Baga
Foto: Imanuel Satya Adi Nugroho