Perkembangan media pers di Indonesia tidak pelak dari sebuah momentum bersejarah yang sering didengungkan sebagai era Reformasi. Kejatuhan Orde Baru membuka keran kebebasan bagi setiap orang untuk mendirikan media pers. Lahirnya Undang-undang Pers tahun 1999 semakin memantapkan kebebasan para wartawan dalam menjalankan fungsinya sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang tersebut.
Kini media pers tidak takut lagi untuk dipanggil oleh Kementerian Penerangan atau dicabut Izin Penerbitannya. Sentralisasi Informasi kini berganti dengan menjamurnya informasi dari berbagai media, entah itu di aras lokal maupun nasional. Mudahnya masyarakat dalam mengakses informasi pada era ini tidak lepas dari kehadiran 1,746 perusahaan Pers yang ada di Indonesia. Ditambah lagi transformasi digital memberikan warna baru bagi kehidupan media pers saat ini. Bukan hanya dalam televisi, media cetak, dan radio, siaran-siaran pers sudah terintegrasi kedalam ruang media baru, seperti media sosial. Pekerjaan wartawan pun sejatinya sudah menjadi profesi yang diminati walaupun tidak ada data pasti berapa jumlah wartawan aktif yang ada di Indonesia. Bila melihat data keanggotaan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) salah satu organisasi wartawan, tercatat pada website resminya ada sekitar 1,897 anggota tapi tidak tahu dengan yang lainnya.
Kemajuan pers di Indonesia juga dirasakan oleh berbagai Pers Mahasiswa (Persma) yang biasa beroperasional di wilayah kampus. Peminatan dan kemajuan Persma terlihat dari antusiasme mahasiswa yang ingin menjadi bagian dari Persma serta produk jurnalistik yang dilahirkan begitu menggugah sehingga berita-berita yang ditampilkan tidak kalah bagusnya dengan media pers profesional yang ada di luar sana.
Seperti halnya Scientiarum, Pers Mahasiswa yang secara konsisten masih memberikan kabar-kabar kampus dan permasalahan sosial di sekitar Salatiga ini, kini kian eksis dikalangan mahasiswa. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa unggahan berita Scientiarum yang mencuri banyak perhatian khalayak, bahkan pada unggahannya belakangan ini, berita Scientiarum telah dilihat oleh 7000 orang. Angka yang begitu menakjubkan. Sebagai satu-satunya Pers Mahasiswa yang masih terdengar keberadaannya hingga saat ini di UKSW, Scientiarum telah menjelma menjadi surat kabar kampus yang serius, beritanya berkualitas, dan dapat di percaya.
Namun, kita juga harus memahami kenyataan, bahwa tidak jarang produk jurnalistik yang dibuat oleh media pers mengandung sebuah tendensi yang berorientasi pada kepentingan ekonomi, politik serta aspek lainnya. Hal ini pula menjadi salah satu faktor penting dalam mempengaruhi nilai kebenaran yang ada pada sebuah berita. Walaupun tidak mengingkari kebenaran tersebut namun wartawan mampu untuk memanipulasi kebenaran agar sejalan dengan kepentingan media terkait. Eriyanto (2002) menjelaskan dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukan sebagai saluran yang bebas, tetapi ia merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan kebenaran dalam realitas.
Lebih lanjut lagi dalam tulisan Framing: Toward Clarification of a fractured Paradig, Robert Entman menjelaskan bahwa dalam penyusunan sebuah produk jurnalistik seperti berita, wartawan dapat membelokkan secara halus realitas yang sebenarnya dengan menyeleksi isu dan menonjolkan fakta dan data sesuai dengan kepentingan media. Maka itu dapat dikatakan bahwa kebenaran dari sebuah peristiwa yang termuat dalam sebuah berita sudahlah dibangun dan disusun sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan media. Maka dari itu, untuk melihat keutuhan dari suatu peristiwa dihimbau agar tidak berpijak pada satu referensi saja, namun mengeksplorasi banyak media yang membahas kasus yang ingin diketahui, agar pembaca atau penonton tidak terhanyut dalam narasi-narasi yang berisikan kepentingan media terkait.
Kembali ke Scientiarum, sebagai media pers yang melahirkan produk-produk jurnalistik, maka Scientiarum juga dapat dipandang sebagai agen konstruksi realitas, media ini dapat melakukan penyeleksian, penonjolan terhadap isu dan fakta dari sebuah peristiwa yang ingin diliput, atau dalam kata lain realitas yang ada pada setiap berita Scientiarum bukanlah kenyataan yang autentik tetapi telah dikonstruksi. Setiap peristiwa di lingkup kampus maupun Salatiga yang dijadikan berita oleh media ini sejatinya merupakan sepenggal dari kebenaran-kebenaran yang disusun berdasarkan sudut pandang dan kepentingan dari Scientiarum. Maka itu, untuk memahami secara holistik setiap peristiwa yang terjadi, terkhususnya peristiwa yang diliput perlunya banyak referensi sehingga pembaca yang notabenenya adalah sivitas akademik UKSW menjadi kaya perspektif dalam melihat peristiwa yang diangkat.
Namun permasalahannya, dalam konteks UKSW sendiri Scientiarum masih menjadi satu-satunya Persma yang mengudara dan terdengar di telinga para sivitas, entah itu dalam aras universitas maupun fakultas. Informasi yang beredar hanya bersumber pada satu saluran saja. Sehingga warga UKSW menjadi miskin akan perspektif dan tidak dapat memahami masalah secara holistik.
Tidak perlu disangsikan lagi bahwa Scientiarum diduduki oleh mahasiswa-mahasiswa kritis yang selalu menghidupi jiwa societas est scientiarum, masyarakat ilmu pengetahuan, yang tidak menegasikan antitesis demi terwujudnya ide dan gagasan baru, tetapi menurut hemat saya untuk terwujudnya hal seperti itu tidaklah dapat kita bebankan hanya pada satu media saja. Diperlukan kehadiran Persma lainnya yang mengisi kekosongan perspektif dan pengetahuan antara media. Adanya pergulatan intelektual melalui tulisan antara media akan menghidupkan nalar kritis dan memperkaya perspektif mahasiswa.
Menghidupkan kembali persma-persma di UKSW merupakan salah satu langkah konkret untuk memantik daya kritis, terkhususnya mahasiswa. Dulu kampus “Indonesia Mini” ini, punya media mahasiswa yang bernama Imbas, dibawah Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Teknik (LK-FTEK), selain itu ada Lentera di Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi (FISKOM), namun semuanya tinggal nama saja. Upaya untuk menghidupkan dan memunculkan persma-persma baru merupakan tugas bersama, yang tentunya harus dimotori oleh stakeholder yang bersangkutan, salah satunya adalah elite mahasiswa yang menamakan diri sebagai Lembaga Kemahasiswaan (LK).
Penulis: Agung Persada Bukit (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Angkatan 2018)
Editor: Reyvan Andrian Kristiandi
Desain/Foto: Jereld Giovanni/Dok. Scientiarum
Maju terus SA!