Dua orang mahasiswa melakukan aksi simbolik dengan jas almamater Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga di sela-sela kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Salatiga tahun 2022, hal tersebut menyimbolkan bahwa perguruan tinggi masih banyak mempunyai banyak “pekerjaan rumah”.
“menjadi bagian 16,7% orang yang diberi kesempatan mengenyam pendidikan perguruan tinggi apakah sebuah kemewahan?”
Apa yang kamu bayangkan tentang dunia perkuliahan saat kamu masih duduk di bangku sekolah?. Melakukan aksi heroik saat-saat demonstrasi? atau kamu tertarik berkuliah karena sistem pendidikan yang lebih longgar dan bebas? atau kamu berharap akan dengan lebih mudah mendapatkan pekerjaan setelah menyandang gelar sarjana?
Semua hal tersebut mungkin saja dapat kamu rasakan, namun pada kesempatan kali ini penulis coba menelanjangi realitas dunia perguruan tinggi dewasa ini, tanpa sedikitpun maksud untuk memadamkan semangat para mahasiswa untuk berkuliah, terkhusus bagi mahasiswa baru (maba). Justru penulis berharap tulisan ini dapat digunakan sebagai pemantapan niat, agar maba-maba mampu “survive” di tengah carut marut dunia pendidikan.
Kualitas & Kesakralan Perguruan Tinggi Mulai memudar
Baru-baru ini dunia pendidikan kita dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof. Dr. Karomani dan beberapa pejabat kampus. KPK kemudian menetapkan Prof. Dr. Karomani sebagai tersangka kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Unila.
KPK menyebut, nominal sekitar Rp5 miliar mungkin ini menjadi hal yang mengejutkan untuk adik-adik mahasiswa baru, bagaimana tidak ketika para calon maba berjibaku mempersiapkan tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau ujian mandiri harus kalah saing dengan titipan “orang dalam” dan ini bukan cerita anyar lagi, korupsi di perguruan tinggi menjadi tren yang terus meningkat.
Memang miris, disaat banyak anak yang tetap berjuang demi pendidikannya walaupun dihadang keterbatasan finansial, disaat itu juga dengan tanpa dosa beberapa orang melakukan komodifikasi di dunia pendidikan. Dunia pendidikan bukan lagi sebagai instrumen perubahan masyarakat yang lebih baik, malahan instrumen itu sendiri yang bermasalah.
Bahkan jika permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut, korupsi di ranah pendidikan tinggi mungkin jadi bagian dari “pendidikan” itu sendiri. Kampus kemungkinan hanya mencetak “sarjana-sarjana sampah” yang bermental sama di setiap jabatan yang mereka duduki, yakni korupsi.
Mereka dengan sadar melakukan langkah kemunduran di dunia pendidikan kita sendiri. Jadi jika kamu tak berharap jadi sarjana sampah maka jangan harap dunia perkuliahan itu hanya sekedar nongkrong dan kebebasan dunia malam anak muda, kamu juga harus memperkuat wawasanmu dalam melawan distraksi permasalahan-permasalahan di wajah pendidikan saat ini.
Mahalnya Komoditas Perguruan Tinggi
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ajaran 2020/2021 rata-rata biaya pendidikan untuk Perguruan Tinggi sebesar 14,47 juta rupiah. Biaya ini dua kali lipat lebih besar dari biaya SMA/Sederajat, 7,8 juta rupiah, biaya di atas belum termasuk dengan biaya penunjang keperluan perkuliahan lainnya.
“Dik, kalau daftar kuliah yang negeri aja ya biar murah”
Mungkin kalimat di atas menjadi hal yang sering kita dengarkan ketika beberapa calon maba berkonsultasi soal pendaftaran perkuliahan. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih menjadi primadona calon maba, biaya yang lebih murah dari pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menjadi salah satu alasan. Tetapi apakah alasan ini masih relevan dewasa ini?
Terlalu jauh jika kita membahas pendidikan kaum tertindas milik Paulo Freire, bahkan pendidikan kita pun belum bisa mencapai cita-cita Ki Hajar Dewantara tentang bagaimana pendidikan yang memerdekakan untuk semua golongan. Mirisnya lagi pendidikan kini jadi alat reproduksi kesenjangan sosial di ranah pendidikan, mengakibatkan adanya klasifikasi kelas sosial atas kepemilikan modal budaya pengetahuan dan gaya hidup.
Beberapa minggu lalu sebuah berita seorang mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Nur Riska Fitri meninggal dunia setelah didiagnosa sakit hipertensi parah yang dideritanya pada 9 Maret 2022, menggemparkan dunia pendidikan kita. Bukan tanpa sebab, mahasiswi angkatan 2020 tersebut mengidap hipertensi kemungkinan salah satunya adalah akibat stres tidak bisa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tiap semester di kampusnya. Kisah ini pun viral di media sosial (medsos) sejak 11 Januari 2023 lalu. Peristiwa ini menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan kita, bahkan kasus ini bisa saja bukan satu-satunya dan masih banyak hal lain yang belum terendus media.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ajaran 2020/2021 rata-rata biaya pendidikan untuk Perguruan Tinggi sebesar 14,47 juta rupiah. Biaya ini dua kali lipat lebih besar dari biaya SMA/Sederajat, 7,8 juta rupiah, biaya diatas belum termasuk dengan biaya penunjang keperluan perkuliahan lainnya.
Dari data di atas kesenjangan biaya di daerah pedesaan, salah satunya akibat desentralisasi atau pergeseran kewenangan yang begitu besar. Hal itu akan membawa dampak terjadinya pergeseran paradigma, dalam seluruh aspek manajemen pendidikan di daerah pedesaan. Yang semula lebih baik dikelola secara sentralistik, sekarang harus lebih didesentralisasikan terutama di bidang persekolahan. Salah satu aspek yang didesentralisasikan adalah pengelolaan anggaran, termasuk anggaran pendidikan. Inilah yang akan menjelaskan mengapa pendidikan justru lebih mahal.
“aku sih maunya UI, undip atau UGM saja buk?”
Siapa sih yang tidak terkesima buat kuliah di UI atau UGM? Tapi apakah kampus yang menakjubkan itu terlepas dari permasalahan komersialisasi pendidikan? Untuk itu mungkin permasalahan dimulai dari masalah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), apa itu PTNBH? Istilah PTN BH sendiri ditemui dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Selanjutnya disebut UU PT), yang berbunyi; “Pengelolaan Otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan bermutu.” Pengertian PTN BH secara jelas tertuang dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Menurut Peraturan Pemerintah ini, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum adalah Perguruan Tinggi Negeri yang didirikan oleh Pemerintah yang berstatus sebagai subyek hukum yang otonom.
Dengan diterapkannya pendidikan sebagai instrumen yang dapat diliberalisasi, secara tidak langsung tatanan global telah menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang komersil. Para fundamentalis pasar selalu berpendapat bahwa liberalisasi menguntungkan konsumen, karena bekerja berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran yang melahirkan keseimbangan pasar.
Padahal terdapat beberapa kekeliruan paradigmatis dalam pandangan neoliberal terhadap pendidikan yang dapat menyebabkan salah arah pendidikan jika hanya didasarkan pada mekanisme pasar. Tanpa mengurangi rasa semangat para penerus bangsa yang sedang berkuliah di perguruan tinggi, tulisan ini berharap menjadikan pompa kepada mahasiswa agar melihat realitas pendidikan dewasa ini. Dengan artian bahwa kita tidak selamanya bisa berharap lebih kepada bangku perkuliahan. Pentingnya peningkatan kualitas pendidikan serta kualitas kemampuan non teknis (soft skill) dan kemampuan teknis (hard skill) untuk menjawab tantangan pendidikan di masa yang akan datang.
Penulis: Muchamad Fatah Akrom (Mahasiswa UIN Salatiga)
Editor: Cyntia Trisetiani Baga
Foto: Muchamad Fatah Akrom (Mahasiswa UIN Salatiga)